Buleleng, baliilu.com – Tari Nyenuk merupakan salah satu tarian sakral yang masih jarang dikenal secara luas. Tarian ini memiliki makna filosofis mendalam, yakni sebagai simbol keseimbangan antara alam semesta (bhuana agung) dan manusia (bhuana alit), serta menjadi bagian penting dalam upacara keagamaan masyarakat Bali.
Beberapa waktu lalu, Tari Nyenuk ditampilkan dalam rangkaian Upacara Padudusan Agung Menawa Ratna di Pura Desa/Bale Agung, Desa Adat Sangsit Dauh Yeh, yang merupakan upacara besar digelar setiap 74 tahun sekali.
Bendesa Adat Sangsit Dauh Yeh, I Wayan Wisara, menjelaskan bahwa Tari Nyenuk tidak hanya merefleksikan nilai spiritual dan budaya masyarakat Bali, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Tarian ini ditampilkan pada bagian akhir rangkaian upacara sebagai wujud terima kasih dan harapan atas kelancaran seluruh proses keagamaan,” ujarnya pada Jumat (2/5).
Penari Nyenuk mengenakan kostum dengan warna-warna simbolik seperti merah (keberanian), putih (kesucian), kuning (kebijaksanaan), hitam (kekuatan dan ketenangan), serta warna loreng (keragaman dan keharmonisan). Warna-warna ini juga merepresentasikan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam lima arah mata angin: timur (Dewa Siwa), selatan (Dewa Brahma), barat (Mahadewa), utara (Dewa Wisnu), dan pusat sebagai panca datu.
Sebelum pementasan, para penari mengikuti prosesi memasar di bale pedanaan yang dimaknai sebagai bentuk kontribusi masyarakat terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
“Prosesi ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang terhubung erat dengan pasar sebagai pusat interaksi sosial dan budaya,” tambahnya.
Tari Nyenuk melibatkan berbagai lapisan masyarakat dari anak-anak hingga orang tua. Setiap kelompok memiliki peran masing-masing dalam arak-arakan, menunjukkan pentingnya keterlibatan kolektif dalam pelestarian budaya. Para pria membawa tegen-tegenan berisi hasil bumi seperti kelapa, tebu, dan umbi-umbian, sementara para wanita membawa beras, bunga, sesajen, dan kebutuhan upacara lainnya.
Upacara digelar di dalam pura dengan iringan seni tradisional seperti tembang, gamelan, dan tarian sakral. Selain itu, masyarakat juga mengikuti pawai budaya sejauh sekitar satu kilometer yang dimulai dari Pura Desa Sangsit, mengelilingi pasar, dan kembali ke pura.
Rangkaian upacara ini menunjukkan bagaimana masyarakat tetap menjaga kearifan lokal di tengah perubahan zaman. Gotong royong, rasa syukur, dan pelestarian warisan budaya menjadi pesan utama yang diwariskan dari generasi ke generasi. (gs/bi)