Saturday, 18 January 2025
Connect with us
https://www.baliviralnews.com/wp-content/uploads/2022/06/stikom-juni-25-2022.jpg

BUDAYA

Tradisi Bali di Tengah Pandemi, Somya Putra: Desa Adat Ambil Alih dengan Manajemen Cepat, Tepat dan Sederhana

BALIILU Tayang

:

de
Made Somya Putra. (Foto: gs)

Klungkung, baliilu.com – Pandemi Covid-19 yang melanda dunia telah menyadarkan betapa maha kuasanya sang alam semesta. Kebiasaan aktivitas kemanusiaan tiba-tiba bergeser bahkan berubah. Dari kebiasaan berkumpul jadi terpisah, dari kebiasaan membuka wajah jadi menutup wajah. Tak terkecuali pergeseran juga terjadi pada tradisi Bali. Pandemi Covid telah memberi pesan kuat bahwa hidup harus menyesuaikan dan terus berlomba dengan waktu.

Seperti dituturkan Made Somya Putra dari The Somya International, bahwa saat ini kita sedang berlomba dengan waktu. Dalam situasi kekinian kita harus menyesuaikan diri, harus dinamis. Bahwa tidak menjadi terlalu mempertahankan tradisi, tetapi tidak mampu menyesuaikan dengan kekinian yang justru akan ketinggalan atau kita yang meninggalkan.

‘’Justru harus menyesuaikan dengan keadaan yang sekarang. Orang-orang yang ingin ngayah, tetap ada ruang. Jadi bukan ada rasa beban berat ketika akan ngayah,’’ terang Somya Putra saat ditemui menjenguk rekan sejawat dikremasi di Krematorium Sulang, Dawan Klungkung, belum lama ini.

Ia menyebut ke depan jumlah penduduk Bali akan semakin besar. Sarana dan prasarana upacara tentunya juga semakin mahal. Dan inilah yang sepatutnya perlu dipikirkan 10 sampai 20 tahun ke depan, tradisi Bali kita ini akan seperti apa. 

‘’Pertama, pemahaman bagaimana kita memikirkan saudara-saudara, semeton kita 10-20 tahun ke depan agar tidak ada diskusi lagi yang menurut saya terlalu basic tentang dresta dan lain sebagainya. Menurut saya bisa menjadi perdebatan yang tidak akan pernah selesai,’’ ucap pengacara ini.

Untuk menyelesaikannya, Somya Putra mengungkapkan mulai sekarang dengan cara pemahaman bahwa kita ini adalah sama atau saudara, wasudewa kutumbakan. Jadi, pertama kita berpikir bahwa bagaimana mengelola saudara kita dari lahir sampai meninggal. Kedua, ini harus digulirkan terus-menerus dari pemikiran diri sendiri kemudian dikembangkan kepada keluarga dan diambil oleh stakeholder yang ada, minimal oleh desa adat.

Ia mencontoh, kalau sekarang orang berpikir ngaben ke krematorium karena ingin mudah, ingin lebih simple, itu tujuannya bukan ingin meninggalkan dresta Bali, tetapi menyesuaikan dengan keadaan yang dimiliki. Kehadiran krematorium membuat masyarakat tak perlu takut akan biaya karena tujuan kehadirannya untuk membantu umat Hindu dengan cara mempermudah akses dalam sarana prasarana, salah satunya adalah ngaben.

Jadi ke depan harus diberdayakan potensi yang ada di desa adat melalui tata kelola manajemen yang lebih jelas. Sehingga ketika ada kematian, maka krama yang memiliki kematian sudah tidak berpikir lagi apa yang harus mereka lakukan. Jadi kenapa bukan orang-orang terdekat yang ada di krama sendiri yang mengelola potensi itu. Caranya, tentu sesuai dengan dresta tanpa meninggalkan sima dresta, desa kala patra yang ada.

‘’Jadi desa adat semestinya mengambil alih dengan manajemen cepat, tepat dan sederhana. Sehingga nantinya konsep menyama braya itu akan lebih simple tanpa melihat dari sisi ekonomi, tingkat strata orang. Jadi kita akan menjadi lebih kepada kesetaraan ke depannya. Jadi di tingkat desa adat pun bisa dilakukan,’’ papar Somya Putra seraya menegaskan BUPDA tidak hanya masalah simpan pinjam, tetapi bisa berkembang ke areal yang lebih basic mengenai banten, upacara dari orang lahir sampai orang meninggal bisa dipersiapkan di desa adat.

Jika upacara yadnya dikelola oleh desa adat melalui BUPDA, justru itu penting dilakukan dengan tidak menghilangkan dresta. Misal, orang tidak semua tahu tentang bagaimana cara membuat banten, tetapi dengan konsep manajemen yang jelas di tingkat desa adat, maka orang membuat banten diperkenalkan di tiap banjar tanpa harus ada pasraman, kemudian diperkenalkan di sekolah- sekolah masing-masing melalui ekstra-kurikuler atau sejenisnya orang akan tahu tentang banten.

Konsep ini tentu tidak meninggalkan prinsip gotong-royong. Karena prinsip gotong-royong terjadi pada satu rasa. Bahwa yang meninggal atau semua adalah saudara yang harus mendapatkan dan harus dilakukan benar-benar sebagai saudara, sebagai keluarga. ’’Kalaupun kita hanya mampu untuk majenukan tidak masalah, datang untuk menyumbang, sehingga orang yang kesusahan tidak lagi mengeluarkan dana,’’ ujarnya.

Jika kita menengok ke belakang, orang harus menyama braya dengan orang berkumpul di sebuah tempat, kemudian melakukan kegiatan massal. Tentu saja pandemi ini sudah membatasi hal itu. Nah inilah yang harus diuji tentang bagaimana kita mengikuti keadaan zaman, tidak meninggalkan esensi dresta tapi memberikan kemudahan sesuai dengan zaman sehingga orang-orang yang memiliki rasa militansi dalam persaudaraan tetap bisa melakukan kegiatan itu. Jadi jika sadar kalau kita semua bersaudara, kewajiban sebagai saudara harus dilakukan sebagai saudara. (gs)

Advertisements
ucapan nataru
Advertisements
nataru
Advertisements
stikom
Advertisements
iklan fisioterapi
Advertisements
iklan
Advertisement
Klik untuk Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BUDAYA

Bupati Giri Prasta ‘’Mendem Pedagingan’’ di Pura Dalem Kekeran, Selanbawak, Tabanan

Published

on

By

Giri Prasta
HADIRI KARYA: Bupati Nyoman Giri Prasta disambut warga saat menghadiri Karya Melaspas dan Mecaru Rsi Gana di Pura Dalem Kekeran Manik Gunung, Desa Adat Kekeran, Selanbawak, Marga, Tabanan, Selasa (14/1). (Foto: Hms Badung)

Tabanan, baliilu.com – Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, turut serta prosesi Mendem Pedagingan serangkaian Karya Melaspas dan Mecaru Rsi Gana di Pura Dalem Kekeran Manik Gunung, Desa Adat Kekeran, Selanbawak, Marga, Tabanan, Selasa (14/1).

Hadir pada karya tersebut Anggota DPRD Kabupaten Badung I Wayan Regep, Anggota DPRD Kabupaten Tabanan, Perbekel Selambawak I Made Merta, Bendesa Adat Kekeran I Gede Nyoman Sabar Tangkas, tokoh masyarakat serta krama Desa Adat Kekeran Selanbawak.

Upacara ini dilaksanakan untuk penyucian Pelinggih Ida Bhatara, Pura Prajapati, Balai Kulkul, Apit Surang dan Jineng yang rampung dibangun dan direnovasi dengan dukungan hibah fisik dari Pemerintah Kabupaten Badung bernilai Rp 2,2 miliar dengan pengalokasian melalui Anggaran Induk Tahun 2024.

Usai melaksanakan mendem pedagingan dan melaksanakan persembahyangan, Bupati Giri Prasta, menyampaikan bahwa dirinya hadir di tengah-tengah masyarakat Desa Adat Kekeran Manik Gunung untuk ikut ngastiti bhakti dalam pelaksanaan karya di Pura Dalem lan Prajapati Kekeran Manik Gunung.

“Pemerintah Kabupaten Badung hadir membantu pembangunan Pura ingin memberikan yang terbaik kepada umat sedharma sehingga ke depan masyarakat tidak perlu lagi mengeluarkan iuran, cukup masyarakat gotong-royong untuk ngayah saja. Ini adalah salah satu contoh yang kita berikan untuk menjaga adat, agama, tradisi, seni dan budaya. Astungkara ini akan kami lakukan terus dengan membuat legacy bagi generasi penerus serta untuk meringankan beban masyarakat,” jelasnya.

Ia juga berpesan, menjadikan karya ini untuk memperkuat persatuan dan semangat kebersamaan dalam menjaga keluhuran adat dan budaya Bali. “Saya harapkan masyarakat harus bergotong-royong bersatu agar semua berjalan dengan baik dan lancar, astungkara masyarakat Desa Adat Kekeran, Selanbawak ini segilik, seguluk, selulung sebayantaka, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertha rahaja,” ujar Bupati Giri Prasta seraya berharap melalui upacara ini, masyarakat semua mendapatkan kerahayuan sekala dan niskala. (gs/bi)

Advertisements
ucapan nataru
Advertisements
nataru
Advertisements
stikom
Advertisements
iklan fisioterapi
Advertisements
iklan
Lanjutkan Membaca

BUDAYA

Bupati Badung Hadiri ‘‘Karya Melaspas Ageng‘‘ di Pura Luhur Puseh Dasar Desa Adat Senganan Kanginan

Published

on

By

Bupati Badung
HADIRI KARYA: Bupati Nyoman Giri Prasta serahkan punia saat menghadiri puncak Karya Melaspas Ageng di Pura Luhur Puseh Dasar, Desa Adat Senganan Kanginan, Penebel, Kabupaten Tabanan, Selasa (14/1). (Foto: Hms Badung)

Tabanan, baliilu.com – Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, dalam upaya mendukung pelestarian adat, agama, tradisi, seni, dan budaya di Bali menghadiri puncak Karya Melaspas Ageng di Pura Luhur Puseh Dasar, Desa Adat Senganan Kanginan, Penebel, Kabupaten Tabanan, Selasa (14/1).

Upacara ini merupakan bagian dari rangkaian karya yang meliputi melaspas Bale Paruman Ida Bhatara, Bale Gong, Candi Bentar, Apit Surang, dan Balai Wantilan yang rampung dibangun dengan dukungan hibah fisik dari Pemerintah Kabupaten Badung senilai Rp 3,2 miliar dengan pengalokasian melalui Anggaran Induk Tahun 2024.

Sebagai wujud dukungan pribadinya, Bupati Giri Prasta juga menyerahkan punia sebesar Rp 15 juta untuk menunjang pelaksanaan karya, Rp 5 juta untuk penari pendet, dan Rp 5 juta untuk Sekaa Baleganjur.

Hadir mendampingi Bupati Badung, Ketua DPRD Tabanan I Nyoman Arnawa, anggota DPRD Badung I Wayan Regep, Perbekel Senganan I Wayan Sukarata, Bendesa Adat Senganan Kanginan I Nyoman Nasta beserta krama pengempon Pura.

Dalam sambrama wacananya, Bupati Giri Prasta menegaskan komitmennya untuk selalu mendukung keberlanjutan tradisi keagamaan dan sosial yang menjadi identitas utama masyarakat Bali. “Pelaksanaan Karya Melaspas Ageng ini bukan sekadar ritual, tetapi juga memiliki nilai filosofis yang mendalam. Saya berharap fasilitas yang telah dibangun ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung kegiatan adat, sosial, dan budaya bagi masyarakat,” ungkapnya.

Bupati juga menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada seluruh masyarakat adat Desa Senganan Kanginan yang menunjukkan semangat gotong-royong dalam pelaksanaan karya besar ini. Ia menyebutkan bahwa semangat kebersamaan ini adalah warisan luhur nenek moyang yang harus senantiasa dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang. “Saya apresiasi atas dedikasi dan kerja keras seluruh krama adat di sini. Kita bersama telah menciptakan legacy yang bermanfaat bagi generasi penerus. Dengan adanya fasilitas ini, generasi mendatang dapat fokus pada pengembangan sisi ekonominya,” ujar Bupati Giri Prasta.

Bupati Giri Prasta juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas wilayah dalam menjaga keberlanjutan budaya Bali. Menurutnya, kerja sama antara Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan dalam pembangunan ini merupakan wujud sinergi yang memberikan dampak positif nyata bagi masyarakat.

“Kami percaya bahwa pembangunan fisik harus diimbangi dengan pembangunan spiritual. Oleh karena itu, hibah ini kami berikan sebagai bentuk dukungan konkret agar masyarakat memiliki fasilitas yang layak dan mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan adat dan budaya. Namun, saya juga mengingatkan pentingnya tanggung jawab bersama untuk merawat fasilitas yang telah dibangun ini,” tegasnya.

Selanjutnya, Giri Prasta juga berharap Karya Melaspas Ageng ini dapat menciptakan keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. “Semoga karya ini memberikan kerahayuan, labda karya sida sidaning don, sagilik saguluk, tata tentrem kerta raharja. Mari kita jadikan untuk memperkuat persatuan dan semangat kebersamaan dalam menjaga keluhuran adat dan budaya Bali, kalau kita bersatu setengah perjuangan berhasil dan tidak bersatu maka setengah perjuangan akan gagal,” pungkasnya. (gs/bi)

Advertisements
ucapan nataru
Advertisements
nataru
Advertisements
stikom
Advertisements
iklan fisioterapi
Advertisements
iklan
Lanjutkan Membaca

BUDAYA

Giri Prasta Hadiri Upacara Mapag Toya, Tawur dan Pakelem di Pura Ulun Danu Beratan

Published

on

By

mapag toya
SEMBAHYANG: Bupati Badung Nyoman Giri Prasta lakukan persembahyangan saat menghadiri upacara Mapag Toya, Tawur dan Pakelem yang berlangsung di Pura Ulun Danu Beratan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Selasa (14/1). (Foto: Hms Badung)

Tabanan, baliilu.com – Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, menunjukkan komitmennya terhadap pelestarian adat, agama dan budaya Bali dengan menghadiri upacara Mapag Toya, Tawur dan Pakelem yang berlangsung di Pura Ulun Danu Beratan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Selasa (14/1).

Upacara yang bertepatan dengan Rahina Purnama Sasih Kapitu, Wuku Wayang ini dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung sebagai leading sektor sebagai perwujudan dalam tradisi Hindu Bali memohon keseimbangan alam semesta dan keberkahan bagi masyarakat. Hadir pula pada acara tersebut Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, serta para Kelian Subak se-Badung dan Tabanan.

Bupati Giri Prasta menyampaikan apresiasi kepada masyarakat dan para tokoh adat atas dedikasi mereka dalam melestarikan budaya Bali melalui penyelenggaraan upacara keagamaan ini. “Upacara Mapag Toya, Tawur dan Pakelem bukan sekadar prosesi, melainkan penghormatan kepada alam yang memberikan kehidupan. Ini merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pengempon pura saja,” ujar Bupati.

Upacara Mapag Toya, Tawur dan Pakelem memiliki makna yang mendalam dalam konteks religius dan ekologis. Mapag Toya, yang berarti “menjemput air” melambangkan penghormatan kepada sumber air sebagai elemen vital kehidupan. Tawur dilakukan sebagai upaya penyucian lingkungan demi menciptakan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi. Pakelem, sebagai bentuk persembahan kepada laut atau danau, bertujuan memohon keseimbangan dan keberkahan bagi seluruh alam.

Pura Ulun Danu Beratan memiliki kedudukan sebagai tempat pemujaan Dewi Danu, yang dipercaya sebagai penguasa air dan sumber kesuburan. Pura ini menjadi simbol harmoni antara manusia dan alam semesta. Danau Beratan sendiri berperan penting sebagai sumber air bagi irigasi pertanian di kawasan sekitarnya, termasuk Kabupaten Badung dan Tabanan. “Pentingnya kerja sama lintas daerah dalam menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. Kolaborasi antara Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan dalam kegiatan seperti ini merupakan contoh nyata sinergi yang memberikan manfaat luas bagi masyarakat,” tegasnya.

Bupati Giri Prasta juga menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Badung mendukung pelestarian tradisi keagamaan tidak hanya secara simbolis, tetapi juga melalui bantuan konkret untuk memenuhi kebutuhan fasilitas upacara. Ia berharap bahwa pelaksanaan upacara Mapag Toya, Tawur dan Pakelem ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk terus menjaga kearifan lokal dan menghormati alam sebagai wujud syukur atas anugerah yang telah diberikan.

“Pelestarian tradisi dan lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kita semua. Dengan menjaga budaya dan adat, kita menjaga identitas Bali di tengah tantangan modernisasi,” tutup Bupati Giri Prasta. (gs/bi)

Advertisements
ucapan nataru
Advertisements
nataru
Advertisements
stikom
Advertisements
iklan fisioterapi
Advertisements
iklan
Lanjutkan Membaca