Connect with us
https://www.baliviralnews.com/wp-content/uploads/2022/06/stikom-juni-25-2022.jpg

OPINI

Mengenyahkan Kegelapan: Refleksi dari Kisah Mochtar Kusumaatmadja

Orasi Ilmiah IDG Palguna pada Puncak Peringatan Dies Natalis Ke-61 Unud

Loading

BALIILU Tayang

:

palguna
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. (Foto: ist)

DIES NATALIS adalah peringatan hari lahir. Bagi Universitas Udayana, sebagai perguruan tinggi, pertanyaan mendasar dan tak pernah berakhir setiap kali dies natalis-nya datang ialah ke mana kita menuju dan sudah sampai di mana kita berjalan? Penggalan pertanyaan “ke mana kita menuju?” merujuk pada mimpi yang hendak diwujudkan, sedangkan penggalan pertanyaan “sudah sampai di mana kita berjalan?” merujuk pada evaluasi terhadap jerih payah kita dalam mewujudkan mimpi dimaksud. Dalam konteks itu, perkenankan saya mengisi orasi ini dengan memulainya dari sebuah kisah tentang seorang intelektual-akademisi cum politikus yang telah mengubah perjalanan sejarah dan wajah bangsa ini untuk selamanya – bahkan juga telah mengubah tatanan dunia, khususnya di bidang hukum laut, juga buat selamanya. Dia adalah Profesor Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M (almarhum). Kisah beliau ini pernah pula saya tulis di rubrik Jendela Majalah Konstitusi, edisi Juni 2021.

Ceritera dimulai ketika Mochtar Kusumaatmadja muda menjadi pegawai di Biro Devisa Perdagangan (BDP) – Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) di menjelang akhir tahun 1950-an. Pada saat yang hampir bersamaan, Mochtar Kusumaatmadja juga dijadikan penasihat Chairul Saleh yang saat itu menjabat sebagai Menteri Veteran (dan kemudian Menteri Perindustrian), meskipun Mochtar sendiri mengaku tidak ingat, apakah untuk itu dia menerima surat pengangkatan resmi atau tidak. Pokoknya bekerja saja. Saat itu hubungan antara Indonesia dan Belanda sedang tegang-tegangnya. Penyebabnya bersangkut-paut dengan Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat (sekarang Papua) yang statusnya akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Namun, hingga lewat pertengahan 1950-an itu Belanda selalu menunda-nunda penyelesaiannya. Ketegangan makin meningkat dan mengarah kepada pecahnya konfrontasi karena Belanda secara demonstratif melalulalangkan kapal-kapalnya di Laut Jawa, termasuk kapal perang yang memuat Pasukan Marinir Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), yang akan ditugaskan di Irian Barat. Secara hukum, tindakan Belanda tersebut tidak dapat dipersalahkan. Sebab, pada saat itu, meskipun sudah merdeka, Indonesia masih memberlakukan undang-undang buatan Belanda dalam pengaturan wilayah lautnya, yaitu Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939. Pasal 1 ayat (1) Ordonansi 1939 tersebut menyatakan, laut teritorial Indonesia lebarnya tiga mil yang diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) Indonesia. Hal itu berarti, masing-masing pulau di Indonesia ini memiliki laut wilayahnya sendiri. Konsekuensinya, jika jarak pulau yang satu dengan yang lain lebih dari 6 mil maka di antara kedua pulau itu akan terdapat laut bebas atau laut lepas (high sea) yang tidak tunduk pada kedaulatan Indonesia. Itulah yang terjadi di Laut Jawa. Di antara batas terluar 3 mil dari Pulau Jawa dan batas terluar 3 mil dari Pulau Kalimantan membentang laut lepas. Keadaan yang sama juga berlaku di laut-laut lain yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Jadi, kapal-kapal Belanda yang lalu-lalang di Laut Jawa itu, betapa pun demonstratif dan provokatifnya, sama sekali tidak melanggar hukum yang berlaku pada saat itu. Demikian pula ketika Belanda melakukan tindakan show of force dengan mengirimkan kapal induknya, Hr. Ms. Karel Doorman, ke Irian Barat melalui Laut Jawa. Kita hanya bisa jengkel.

Sesungguhnya, pada 17 Oktober 1956, Pemerintah Indonesia di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo telah membentuk Panitia Interdepartemental (INTERDEP) yang diberi mandat menyusun Rancangan Undang-Undang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Indonesia untuk menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 tadi. Namun, hingga hingga pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo “jilid II” berakhir, rancangan undang-undang dimaksud belum juga berhasil disusun. Mochtar Kusumaatmadja, ahli hukum laut yang saat itu baru saja menyelesaikan masternya dari Yale University, dimasukkan sebagai anggota Panitia ini pada 1 Agustus 1957. Demonstratifnya, bahkan provokatifnya, Belanda dengan kapal-kapal perangnya yang lalu-lalang di Laut Jawa itu ditambah dengan Panitia Interdepartemental yang tak kunjung berhail menyelesaikan mandatnya rupanya membuat Menteri Veteran Chairul Saleh berang. Sang Menteri kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, itu pun mendatangi kediaman Mochtar Kusumaatmadja. “Eh, Mochtar, apa kerja kalian di Panitia itu? Kok tidak hasilnya? Ini kapal perang Belanda kok mondar-mandir di Laut Jawa, apa Laut Jawa itu tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” Dengan polosnya Mochtar Kusumaatmadja menjawab, “Tidak bisa dong. Itu bertentangan dengan hukum internasional.” Mendengar jawaban Mochtar, alih-alih mereda, Chairul Saleh yang memang terkenal sebagai tokoh nasionalis dan revolusioner itu justru berkata lebih keras lagi, “Pokoknya bikin supaya bisa. Kamu ini masih muda ngomongnya kayak apa, tidak revolusioner… Kamu harus mengubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa. Kecuali kalau kamu sudah ditanam, sudah ada batu nisan dengan nama kamu di atasnya, baru boleh bilang tidak bisa. You sanggup nggak?” Melihat Chairul Saleh yang begitu bersemangat, Mochtar Kusumaatmadja, yang awalnya mengaku kesal, lama-lama jadi terpengaruh dan merasa tertantang. Maka ia pun menjawab, “Baik. Begini saja. Saya kan pegawai BDP/LAAPLN. Saya tidak bisa memikirkan hal ini sambil kerja. Saya memerlukan perlop (cuti). Kalau Uda Chairul bisa mengusahakan perlop maka saya akan pergi ke Bandung dan coba-coba membuat konsep untuk menjadikan Laut Jawa itu laut pedalaman.” Chairul Saleh rupanya benar-benar serius. Ia berhasil memintakan cuti dimaksud. Maka berangkatlah Mochtar Kusumaatmadja ke Bandung.

Singkat kisah, di Bandunglah Mochtar Kusumaatmadja mengerahkan segenap pengetahuan, kecerdasan, dan intelektualitasnya. Hal yang menjadi kegelisahannya bukan sekadar bagaimana menjadikan perairan atau laut di antara pulau-pulau di Indonesia itu sebagai laut pendalaman (internal waters), sehingga laut itu tidak lagi berstatus laut lepas tetapi tunduk pada kedaulatan Indonesia, melainkan kecemasannya sebagai seorang nasionalis perihal cara berpikir orang-orang yang mendiami pulau-pulau di nusantara itu. Ia berpikir, adanya ketentuan lebar laut wilayah tiga mil untuk masing-masing pulau, yang berarti di antara pulau-pulau itu ada laut bebas, membuat orang-orang Indonesia yang tinggal di pulau-pulau yang berbeda cenderung mengidentifikasikan diri bukan sebagai orang Indonesia melainkan sebagai orang Jawa, orang Sumatera, orang Maluku, orang Sulawesi, dan seterusnya, sesuai dengan tempat kediamannya, karena setiap pulau mempunyai lautnya sendiri. Jadi, di sini laut justru menjadi pemisah, bukan sebagai penghubung orang-orang Indonesia yang berdiam di pulau-pulau itu. Cara pandang ini yang harus diubah. Laut bukan lagi dipandang memisahkan (sebagaimana cara berpikir yang ditanamkan oleh penguasa kolonial Belanda) melainkan justru menyatukan. Dengan cara pandang baru itu perasaan keindonesiaan akan makin terbangun.

Dasar Pemikiran Mochtar

Inilah dasar pemikiran utama Mochtar Kusumaatmadja yang melandasi kelahiran magnum opus-nya, karya besarnya, Konsepsi Wawasan Nusantara. Namun, untuk sampai ke sana sama sekali bukan perjalanan yang mudah, baik secara intelektual-akademik maupun politik. Secara intelektual-akademik, untuk menghapuskan konsepsi laut wilayah tiga mil saja dibutuhkan argumentasi kuat, khususnya pandangan ahli dan preseden berupa praktik negara-negara. Dari bacaannya yang luas, Mochtar Kusumaatmadja mengetahui kalau batas lebar laut wilayah tiga mil, saat itu, tidak lagi sepenuhnya berlaku sebagai a generally accepted rule of international law. Salah satu buktinya, pada Konferensi Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Volkenbond (Liga Bangsa-Bangsa) di Den Haag (The Hague) 1930, dari 37 negara peserta, hanya 9 negara yang masih mempertahankan batas laut wilayah tiga mil. Bukti lain, walaupun International Law Commission (ILC), yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 21 November 1947 dan beranggotakan 15 ahli hukum terkenal yang diakui kompetensinya dalam hukum internasional, dalam sidangnya tahun 1949 masih berpendapat bahwa pelebaran laut wilayah tidak boleh sampai 12 mil, praktik negara-negara pada saat itu menunjukkan penetapan lebar laut wilayah mereka antara 3 sampai dengan 12 mil. Hingga di sana, Mochtar Kusumaatmadja merasa mendapat cukup keberanian (dan argumentasi) untuk menetapkan lebar laut wilayah 12 mil.

Persoalan berikut yang tidak kalah peliknya ialah pertanyaan perihal dari mana dan bagaimana  cara mengukur lebar 12 mil itu? Dalam hal ini, Mochtar ingat dengan putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tahun 1951 dalam sengketa perikanan yang melibatkan Inggris dan Norwegia, Anglo-Norwegian Fisheries Case. Dalam putusan itu, Mahkamah Internasional menerima cara penetapan garis pangkal yang dinamakan garis pangkal lurus (straight baseline) yang ditarik dari ujung ke ujung yang menghubungkan titik-titik terluar kepulauan lepas pantai suatu negara. Dari garis pangkal itulah titik pangkal penarikan lebar laut wilayah dimulai. Meskipun cara tersebut diberlakukan untuk kepulauan lepas pantai, bukan untuk negara kepulauan (yang saat itu belum dikenal konsepsinya), Mochtar Kusumaatmadja menggunakannya untuk konsepsi negara kepulauan Indonesia.

Sementara itu, selain putusan Mahkamah Internasinal di atas, Mochtar Kusumaatmadja juga ingat bahwa pada 7 Maret 1955 Filipina pernah melakukan klaim sepihak (unilateral claim) dengan mengirimkan note verbale kepada Sekjen PBB dan pada 20 Januari 1956 kepada International Law Commission. Kedua note verbale itu isinya sama yaitu, antara lain, Filipina menyatakan bahwa semua perairan di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau dari kepulauan Filipina berada di bawah kedaulatan Filipina.

Wawasan Nusantara

Gagasan Mochtar Kusumaatmadja tentang negara kepulauan atau Wawasan Nusantara tersebut dibawa ke rapat Panitia INTERDEP dan akhirnya kemudian untuk dijadikan laporan sekaligus rekomendasi Panitia INTERDEP kepada Perdana Menteri H.R. Djuanda Kartawidjaja, perdana menteri pengganti Ali Sastroamidjojo. Akhir ceritera, kita semua tahu, gagasan Mochtar Kusumaatmadja ini, oleh Perdana Menteri Djuanda, lalu dituangkan ke dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi 13 Desember 1957 atau Deklarasi Djuanda – yang nama resminya adalah “Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia.” Ada empat hal mendasar yang perlu digarisbawahi dari Deklarasi ini yang sekaligus mencerminkan kejeniusan seorang Mochtar Kusumaatmadja.

Pertama, deklarasi ini menegaskan bahwa secara geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau memiliki corak tersendiri. Demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan alamnya maka seluruh kepulauan Indonesia dan laut yang terletak di antaranya harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat. Karena itu, penentuan batas laut teritorial sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 442) tidak sesuai lagi sebab ordonansi ini membagi wilayah daratan Indonesia ke dalam bagian-bagian yang terpisah dan memiliki laut teritorialnya sendiri-sendiri.

Kedua, berdasarkan pertimbangan tadi, deklarasi lantas masuk kepada poin utamanya yaitu bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya, adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Indonesia dan karenanya merupakan bagian dari perairan nasional Indonesia dan berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Konsekuensi mendasar dari poin ini ialah bahwa perairan atau laut yang berada di antara atau yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia, yang sebelumnya terdapat laut lepas atau laut bebas, melalui deklarasi ini berubah (tepatnya diklaim) menjadi perairan pedalaman (internal waters).

Ketiga, deklarasi menyatakan bahwa lalu lintas damai (innocent passage) kapal asing di perairan pedalaman Indonesia dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Poin ini adalah semacam “imbalan” sekaligus jaminan Indonesia kepada negara-negara yang kapal-kapalnya selama ini secara bebas melakukan pelayaran melalui laut yang mulanya merupakan laut lepas (sehingga tidak tunduk kepada kedaulatan negara mana pun) dan kini berubah menjadi perairan pedalaman Indonesia. Dengan kata lain, pesan yang hendak disampaikan melalui poin ini ialah bahwa negara-negara tersebut tidak perlu khawatir jika kapal-kapalnya melintas di perairan pedalaman Indonesia sepanjang dalam pelayarannya mereka benar-benar mematuhi ketentuan hak lintas damai (right of innocent passage).

Keempat, deklarasi juga memuat hal mendasar lainnya yaitu lebar laut teritorial dan cara mengukurnya. Dikatakan bahwa batas laut terirorial adalah 12 mil dan diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia. Cara penarikan garis pangkal ini dikenal dengan nama metode garis pangkal lurus (straight base line method). Sebagaimana telah disinggung di atas, sebelum digunakan lewat deklrasi ini, cara penarikan garis pangkal demikian telah diakui dan dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Internasional yang terkenal, yaitu dalam sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 – meskipun bukan untuk negara kepulauan. Mochtar Kusumaatmadja “meminjamnya” guna menguatkan argumentasinya bagi konsepsi negara kepulauan.

Berselang sehari setelah Deklarasi tersebut dimuat di berbagai koran, negara-negara besar, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Jerman, Jepang, dan tentu saja Belanda mengajukan protes keras dan penentangannya. Mochtar Kusumaatmadja menceriterakan, “Saya kaget. Saya merasa bahwa ini perbuatan saya, seluruh dunia geger melawan Republik kita. Saya  sambil bawa koran-koran tersebut dan buru-buru pagi-pagi pergi ke rumah Chairul Saleh di Jalan Lombok 23 Menteng, Jakarta. ‘Ada apa’, katanya. ‘Sudah baca koran’, tanya saya sambil memperlihatkan surat kabar. ‘Apa, ada apa dengan koran?’ katanya. Mochtar kemudian mengatakan, “Ini, baca koran. Semua negara protes.” Rasanya, langit ini seperti runtuh, kata Mochtar. Bukannya kaget, Chairul Saleh malah berkata, ‘O, mereka protes ya? Kalau negara-negara besar imperealis itu protes artinya kita berada di jalan yang benar.’

Kita bersyukur, Indonesia tidak gentar menghadapi protes dan penentangan negara-negara besar tersebut. Bukan hanya tidak gentar, menyusul Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia justru memperkuatnya dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Sikap Indonesia sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Djuanda dan Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tersebut selanjutnya dijadikan pedoman perjuangan tak kenal lelah Indonesia selama seperempat abad dalam diplomasi internasional di bidang hukum laut sampai kemudian Wawasan Nusantara atau konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) itu diterima dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea). Bersamaan dengan diterima konsepsi negara kepulauan atau archipelagic state itu, diterima pula oleh Konvensi Hukum Laut PBB konsepsi-konsepsi lain yang berkait erat dengan konsepsi negara kepulauan seperti konsepsi perairan kepulauan (archipelagic waters), hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea-lane passage), untuk menyebut beberapa contoh, yang saat ini bukan lagi sekadar konsepsi melainkan telah menjadi ketentuan hukum internasional positif (de lege lata). Karena itu, tidak berlebihan jika Damos Dumoli Agusman, Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Austria, Slovenia, dan Organisasi Internasional, mengatakan bahwa, melalui Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia telah menciptakan hukum internasional. Melalui Mochtar Kusumaatmadja pula, Indonesia membuktikan bahwa inisiatif untuk mengubah dunia tidak selalu harus berjalan satu arah dan tidak selalu merupakan “jatah” negara-negara maju melainkan proses dialektik dua arah. Sampai di sini, saya jadi teringat ucapan Mehmet Murat Ildan, sastrawan penulis naskah drama dari Turki, “You may live in an unknown small village, but if you have big ideas, the world will find you” (Anda bisa saja tinggal di sebuah kampung kecil yang tak dikenal, namun jika anda memiliki gagasan-gagasan hebat, dunia akan menemukan anda).

Unud sebagai Widya Mahamerta

Poin yang hendak saya sampaikan melalui kisah yang pemaparannya cukup memakan waktu di atas bukanlah sekadar agar kita tidak lupa jasa besar seorang Mochtar Kusumaatmadja melainkan ada kaitannya dengan tema peringatan Dies Natalis Universitas Udayana ke-61 ini, “Membangun sinergi, menciptakan prestasi.”

Mochtar Kusumaatmadja adalah sosok pemikir yang lahir dari tradisi akademik universitas. Misi utama universitas adalah mengenyahkan kegelapan. Itulah yang diajarkan oleh sejarah kepada kita ketika di sekitar tahun 1088 sekumpulan studiorum, kaum terpelajar, mendirikan Universitá di Bologna alias Universitas Bologna yang berlokasi di region Emilia-Romana, Italia. Inilah perguruan tinggi pertama yang menggunakan terminologi “universitas” untuk proses kegiatan belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswanya. Universitas Bologna hadir sebagai perguruan tinggi pertama yang menandai mulai berakhirnya kegelapan panjang di Eropa belahan barat pasca-runtuhnya Kekaisaran Romawi. Begitu panjangnya kegelapan itu, yaitu mencapai rentang waktu 500 (lima ratus) tahun, dari tahun 400 hingga 900 sesudah Masehi, sehingga disebut “Abad Kegelapan” (Dark Age). Penyebabnya tidak lain adalah hilangnya tradisi belajar. Hilangnya tradisi belajar tersebut menyebabkan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban besar sebelumnya, yaitu peradaban Yunani dan Romawi, musnah nyaris tak berbekas – kecuali yang sedikit masih bisa diselamatkan di biara-biara atau katedral-katedral. Dalam kegelapan demikian orang lebih percaya kepada (dan hidup bersama) gosip tinimbang pengetahuan. Sementara itu, secara sosial, dampak dari kegelapan demikian ialah berkembangnya sistem feodal – yaitu sistem sosial yang terbentuk oleh dan dalam kelas-kelas sosial: bangsawan, agamawan, dan budak.

Titik awal kebangkitan Eropa Barat untuk keluar dari kegelapan terjadi tatkala, pada kira-kira abad ke-12, beberapa gelintir orang yang mendapatkan pendidikan hukum dan mengabdi kepada raja mulai tertarik untuk mempelajari dan mendalami kembali pemikiran-pemikiran para cendekia dari era kebesaran Yunani dan Romawi, khususnya karya-karya Aristoteles dan Kode Yustinianus (Code of Justinian), yang tiada lain adalah kumpulan teori hukum dari Abad ke-6 Masehi yang disusun atas perintah Kaisar Yustinianus dari Kekaisaran Byzantium yang dinamakan Corpus Iuris Civilis. Ini kemudian mendorong terjadinya kegairahan untuk memikirkan tatanan kenegaraan modern yang dimulai dengan mendalami studi hukum. Universitas Bologna adalah bagian dari kegairahan baru itu. Maka tidak mengherankan kalau semboyan atau mottonya berbunyi “Petrus ubique pater legum Bononia mater” (St. Peter is everywhere the father of law, Bologna is its mother) yang jika diterjemahkan secara bebas berarti “Santo Petrus adalah ayah hukum di manapun, sedangkan Bologna adalah ibunya. Namun, anehnya, tokoh-tokoh besar yang dilahirkan olehnya justru para pencerah non-hukum, seperi Dante Alighieri (penyair dan filsuf Itali dari Abad ke-14), Erasmus (cendekiawan dan filsuf besar Belanda), Nicolaus Copernicus (matematikawan sekaligus astronom dengan teori masyurnya yang menempatkan matahari sebagai pusat tata surya), Lazzaro Spallanzani (fisiolog dan penemu Teori Generasi Spontan atau Spontaneus Generation dalam biologi), dan lain-lain.

Karena itu, dalam tengara saya, dengan berkaca dari sejarah di atas, bukanlah suatu kebetulan jika Universitas Udayana mengidealkan untuk memberikan “Widya Mahamerta” sebagai “Pusaka” kepada anak-anak didiknya. Widya (Vidhya) tiada lain adalah “ibu pengetahuan dan kebenaran.” Adakah “pusaka” yang lebih mulia sehingga bisa disebut Mahamerta selain Widya (Vidhya) alias ibu pengetahuan dan kebenaran? Maka, dengan “Pusaka” itulah Universitas Udayana hendak menugaskan misi suci memerangi dan mengusir kegelapan kepada anak-anak didiknya – seperti yang dicontohkan oleh Universitá di Bologna.

Di sinilah sinergi menjadi keniscayaan. Misi universitas mengenyahkan kegelapan yang ditandai kemampuan melahirkan sosok-sosok pencerah masyarakat, bangsa, dan negara, seperti Mochtar Kusumaatmadja, tak mungkin diwujudkan tanpa adanya sinergi berbagai komponen. Sinergi antara visi universitas dan pengejawantahannya dalam misi serta langkah-langkah konkretnya dalam program aksi di ranah empirik. Sinergi antara “mimpi” pimpinan universitas dan “tangkapan” pimpinan fakultas atas mimpi itu sehingga lahir satu kesatuan langkah yang solid. Bahkan juga, jika bukan terutama, sinergi dengan kebijakan Pemerintah. Karena itu, jika kebijakan pemerintah, di bidang pendidikan tinggi khususnya, misalnya yang berkenaan tugas pokok dosen, lebih menekankan pada terbangunnya kerapian administrasi parameter kinerja para dosen – yang ironisnya acapkali tidak bersangkut-paut dengan penghargaan finansial dosen yang bersangkutan – maka, percayalah, sistem itu hanya akan melahirkan dosen-dosen lebih tertarik untuk mengurus dirinya sendiri tinimbang melakukan dialektika model “taman akademos” dengan mahasiswanya dalam proses belajar ala Akademia Plato, yang seharusnya menjadi karakter perguruan tinggi atau universitas. Invensi tidak lagi menjadi obsesi dan digantikan oleh target-target administratif pemenuhan syarat beban kerja yang harus senantiasa tersusun rapi dan selalu dibayang-bayangi oleh ancaman ini itu. Akan adakah sosok fenomenal yang lahir dari kebijakan dan habitat macam itu? Mungkin ada namun itu hanya akan berupa pengecualian, sesuatu yang eksepsional, bukan konsekuensi rasional yang lahir dari solidnya sinergi dari hulu hingga hilir.

Jika kita meyakini misi utama universitas adalah mengenyahkan kegelapan dan “senjata” untuk mengenyahkan kegelapan itu adalah “pusaka” yang bernama widya, ibu segala pengetahuan dan kebenaran, maka, bagi insan universitas, jalan pembuka untuk mengerjakan misi itu adalah menyingkirkan rasa takut.

Karena itu, saya ingin menutup orasi ini dengan mengutip ucapan William C. Faulkner, penerima Nobel Sastra 1949, “Never be afraid to raise your voice for honesty and truth and compassion against injustice and lying and greed. If people all over the world … would do this, it would change the earth” (Jangan takut untuk mengangkat suaramu bagi kejujuran dan kebenaran dan perasaan haru untuk melawan ketidakadilan dan dusta dan ketamakan. Jika orang-orang di seluruh dunia … mau melakukannya, hal itu akan mengubah dunia).

IDG Palguna, Denpasar, 29 September 2023.

Loading

ucapan galungan dprd bali
Advertisements
hut mangupura
Advertisements
Sumpah Pemuda DPRD Badung
Advertisements
bks lpd
Advertisements
dprd badung
Advertisements
iklan
Advertisement
Klik untuk Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

OPINI

Catatan Hendry Ch Bangun, Selamat Jalan Rekan Wina Armada

Published

on

By

Wina Armada
Sekjen PWI Pusat Bambang Sadono (kiri), Wina Armada Sukardi (tengah), Hendry Ch Bangun, dalam acara Dewan Pers di Solo tahun 2021. (Foto: Hms PWI)

TERAKHIR saya bertemu Wina Armada pada 13 Juni lalu di Gedung Dewan Pers sehabis salat Jumat. Ceritanya saya sebagai Ketua Umum PWI Pusat bersama Zulmansyah Ketua PWI KLB dan Wina Armada sebagai Sekjen PWI KLB, berjumpa Ketua Dewan Pers Prof. Komarudin Hidayat, Wakil Ketua Totok Suryanto, anggota Dahlan Dahi dan Yogi Hadi Ismanto. Agenda utama, menandatangani naskah kesepakatan berisi Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) pelaksanaan Kongres Persatuan PWI.

Saat bertemu di lantai 7 ruang pertemuan, dia mendatangi saya. “Kapan nih Ndri, kita ngopi-ngopi katanya.” “Atur saja, saya sih ikut saja”, begitu balasan saya. Kami lalu bersalaman, berpelukan, dan cium pipi kiri dan kanan.

Saya dan Wina berteman sejak lama, katakanlah sama-sama terjun di pers kampus. Saya Angkatan 77 di FSUI, dia Angkatan 78 di FHUI, kampus UI Rawamangun. Dia waktu itu aktif di SKK Salemba, yang dipimpin Antoni Zeidra Abidin, saya sendiri di media internal SMFSUI Corat Coret  dan majalah Tifa Sastra yang diterbitkan teman Fakultas Sastra. Wina sudah menulis di media umum termasuk Horison, saya menulis sejak 1978 di Sinar Harapan, Suara Karya, Angkatan Bersenjata. Kami saling kenal dan saling menghargai.

Belakangan dia masuk ke Prioritas saya ke Kompas. Banyak sekali kiprah Wina, termasuk ketika dia menjadi satu yang aktif dalam proses terbentuknya Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 yang monumental itu. Dia terkenal sebagai ahli hukum pers dan saat menjadi Ketua Komisi Hukum di Dewan Pers Wina pelopor terbitnya Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan menyusul terbitnya Piagam Palembang pada Hari Pers Nasional tahun 2010. Baru belakangan urusan Uji Kompetensi Wartawan ditangani Komisi Pendidikan.

Wina juga aktif di Persatuan Wartawan Indonesia. Karena ketertarikannya, dia aktif di Seksi Budaya dan Film, dan saya di Seksi Wartawan Olahraga, di lingkungan PWI Jakarta Raya. Dia menjadi Sekretaris Jenderal PWI Pusat di periode kedua Ketua Umum Tarman Azzam, yakni 2003-2008, menggantikan Bambang Sadono. Saya menjadi Sekjen PWI Pusat tahun 2008-2013, 2013-2018 dengan Ketua Umum Margiono. Belakangan saya terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat periode 2023-2028, Wina Armada menjadi Sekretaris Dewan Penasehat. ***

Ketika terjadi badai di PWI Pusat, saya dan Wina berseberangan karena dia bergabung dengan Ilham Bintang, Sasongko Tedjo, Zulmansyah, dll yang agak mengherankan saya. Sebab dia sebelumnya berusaha menjadi mediator perselisihan saya selaku Ketua Umum PWI dan Sasongko Tedjo selaku Ketua Dewan Kehormatan. Dia mengundang kami makan malam di sebuah restoran Jepang di Pondok Indah Mall 3, padahal sebenarnya saya kecapaian karena ada acara di Mojokerto, jadi dari Bandara Soekarno-Hatta, mengarungi kemacetaan hampir 2 jam, agar tidak mengecewakan Wina. Pertemuan sendiri tidak membuah hasil sesuai harapan.

Saya kembali heran ketika Wina malah menerima jabatan Sekjen, sesuatu yang sebenarnya sudah kurang cocok untuk orang seusia dia. Mungkin dia ada pertimbangan, jadi saya anggap itu hak pribadinya.

Pertemanan selama 40 tahun lebih membuat saya tidak bisa marah atau membenci Wina Armada seberapa besar pun perbedaan kami. Beda boleh. Persahabatan terus berjalan. Apalagi kami sama-sama bergerak di pers kampus di masa-masa perlawanan kampus atas pemerintahan otoriter Orde Baru. Menjadi wartawan di media mainstream yang jelas filosofinya. Wartawan kan intelektual, biasa berbeda pandangan, dan biasa hidup dalam keberagaman pandangan. Hidup di dunia kan tidak sempurna, jadi normal saja ada perbedaan pendapat.

Ketika bertemu di acara berbuka puasa yang digagas PT Astra International di Hotel Fairmon, Senayan, 10 Maret 2025, dia malah mendatangi meja saya dan bersalaman dengan hangat. Dia bilang waktu itu, “Ndry, kapan-kapan kita ngopi ya. Ngobrol saja. Jangan ngomongin PWI”. Saya menjawab, “Ok siap. Aturlah waktunya”. Waktu bertemu di lobi, dia mengingatkan lagi dan saya mengacungkan jempol.

Seperti ketika kami bertemu di Gedung Dewan Pers tanggal 13 Juni itu, ngopi itu tidak pernah terjadi. Tapi saya masih merasakan hangat pelukan Wina Armada, dan cium pipi kiri cium pipi kanan serasa masih membekas. Bukan hanya tersenyum dia pun tertawa lepas. Terus terang saya agak tertegun dengan sikap Wina yang begitu hangat, kok sampai segitunya. Baru belakangan saya dapat kabar Wina masuk rumah sakit di Kawasan Kebayoran karena adanya serangan jantung. Dan tadi sekitar pukul 16.20 dari grup Persahabatan UI dapat kabar dukacita.

Selamat jalan Wina. Kita sahabat selamanya. Ciputat 17.30 WIB

Loading

ucapan galungan dprd bali
Advertisements
hut mangupura
Advertisements
Sumpah Pemuda DPRD Badung
Advertisements
bks lpd
Advertisements
dprd badung
Advertisements
iklan
Lanjutkan Membaca

OPINI

Menelisik Pandangan Hidup terhadap ‘‘Ulah Pati‘‘ dalam Perspektif Hindu

Published

on

By

ulah pati
Kadek Satria selaku Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng. (Foto: Hms Buleleng)

Buleleng, baliilu.com – Ajaran Hindu tidak membenarkan tindakan ulah pati atau bunuh diri. Menurutnya, dalam keyakinan Hindu, atma (roh manusia) bersifat kekal dan abadi, sehingga kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup.

“Kematian adalah bagian alami dari siklus kehidupan yang harus diterima. Dunia ini merupakan tempat bagi manusia untuk menyucikan atma melalui perbuatan baik (subha karma) dan menghindari perbuatan buruk (asubha karma),” ujar Kadek Satria selaku Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng saat dikonfirmasi awak media, Jumat (4/4).

Lebih lanjut, pihaknya menjelaskan konsep dalam Bhagavad-Gita yang menyebutkan dua jalur perjalanan atma setelah kematian, yaitu Uttarayana (jalur terang/dewa) bagi mereka yang menjalani kehidupan dengan kebaikan, serta Daksinayana (jalur kegelapan) bagi mereka yang masih terikat pada duniawi dan karma buruk.

Selain itu, Kadek Satria juga mengutip Kitab Parasara Dharmasastra, yang menyatakan bahwa roh orang yang meninggal akibat ulah pati akan terkurung dalam alam kegelapan selama 60 ribu tahun. Sementara itu, dalam Lontar Yama Purwa Tattwa Atma, dijelaskan bahwa jenazah korban bunuh diri harus dikubur terlebih dahulu sebelum prosesi ngaben dapat dilaksanakan setelah lima tahun.

Ulah pati bukanlah jalan keluar dari permasalahan hidup. Sebaliknya, ini justru menambah penderitaan bagi keluarga dan lingkungan sekitar,” tegas Kadek Satria dikutip dari bulelengkab.go.id.

Pada kesempatan tersebut Kadek Satria berharap ini dapat memberikan pemahaman lebih luas kepada masyarakat mengenai dampak bunuh diri dari perspektif ajaran Hindu, sekaligus mendorong individu untuk mencari solusi yang lebih positif dalam menghadapi tantangan hidup. (gs/bi)

Loading

ucapan galungan dprd bali
Advertisements
hut mangupura
Advertisements
Sumpah Pemuda DPRD Badung
Advertisements
bks lpd
Advertisements
dprd badung
Advertisements
iklan
Lanjutkan Membaca

OPINI

Ulang Tahun SMSI: Sewindu Mengarungi Disrupsi Multidimensi

Oleh Firdaus, Ketua Umum SMSI

Loading

Published

on

By

Ketua Umum SMSI. (Foto: SMSI)
Ketua Umum SMSI. (Foto: ist)

DISRUPSI teknologi kian menjadi-jadi ketika organisasi pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) genap berusia sewindu pada Jumat, 7 Maret 2025.

Disrupsi tidak kunjung mereda, bahkan memasuki babak baru: disrupsi multidimensi. Ciri multidimensi ditandai dengan serangan dari berbagai sisi.

Dari berbagai sisi media dilumpuhkan satu sama lain. Dari sisi bisnis, keredaksian, jurnalisme, distribusi dan sistem pemasaran.

Persaingan antarplatform media tidak terelakkan. Persaingan semakin luas antarperusahaan pers, media sosial, dan bahkan media global, seperti Google, dan FaceBook.

Terjadi begal-membegal konten media, tanpa menghiraukan etika. Siapa yang memproduksi konten, dan siapa yang mereguk keuntungan tidak ada aturan main yang jelas.

Media platform cetak tergerus oleh platform televisi dan online. Media televisi terganggu media sosial dengan berbagai layanan aplikasi, seperti Youtube.

Media global platform digitial seperti Google juga ikut mendistribusikan berita dan mengambil banyak iklan. Artificial Intelligence (AI) yang mendaur ulang informasi, turut menawarkan kerja jurnalisme, termasuk mengolah informasi menjadi karya tulis.

Sementara informasi yang disampaikan AI banyak yang belum terverifikasi kebenarannya. Ini juga ikut menggerus kerja media pers.

Sudah tidak terbilang entah berapa kali AI didiskusikan dan diseminarkan di dalam dan luar negeri, untuk keperluan berbagai bidang pekerjaan, termasuk bidang jurnalisme dan bisnis media.

Akan tetapi masih banyak pertanyaan dan keraguan terhadap kemampuan AI sebagai mesin pendaur ulang informasi yang melimpah ruah setiap hari. Keraguan terhadap AI dalam menyeleksi data dan informasi dianggap masih lemah. Antara hoax dan fakta belum dipilah secara meyakinkan.

Di sinilah AI seringkali diletakkan sebagai pihak yang berlawanan dengan kerja jurnalisme yang mengedepankan fakta, data dan verifikasi ketat terhadap kebenaran informasi sebelum disuguhkan sebagai berita. Selain berlawanan dalam prinsip kebenaran fakta dan data, juga menjadi perlawanan dalam bisnis bermedia.

SMSI tidak kaget dalam situasi seperti sekarang ini. Kelahiran SMSI delapan tahun silam memang menjawab keadaan disrupsi teknologi dan transformasi sosial yang sedang melanda media massa saat itu.

Perusahaan media massa banyak yang bangkrut, sebagian tutup, awak media seperti wartawan dan tenaga pendukung terpaksa dirumahkan, diberhentikan tanpa batas waktu.

Tenaga kerja di bidang pers banyak yang menganggur. Yang masih bertahan bekerja harus beradaptasi dengan cara kerja baru: serba internet.

Mereka yang bisa beradaptasi tetap lanjut bekerja dengan imbalan kesejahteraan yang minimal, karena iklan tidak lagi seperti sebelum terjadi disrupsi.

Keadaan seperti ini tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok yang medianya disubsidi dana oleh negara.

Tenaga bidang pers yang berantakan tidak terurus seiring datangnya disrupsi, secara alamiah mengalir ke media digital/siber yang paling mudah disiapkan, dengan pola bisnis yang belum jelas.

Jadi bisa dikatakan SMSI adalah anak perubahan era 4.0, hasil dialektika media lama dan baru. Kelahirannya memang di saat disrupsi sedang berlangsung. SMSI menjadi media alternatif, dan turut menjadi pelaku.

Hari ini, Jumat, 7 Maret 2025, SMSI berulang tahun ke-8. Perjalanannya sebagai organisasi pers yang beranggotakan sekitar 2.700 pengusaha pers media siber semakin menapak kuat dan kian tangguh di kancah persaingan media.

Namanya semakin dikenal luas, jaringan bisnisnya tidak terbatas pada instansi pemerintah. Jaringan semakin meluas pada banyak sektor swasta, termasuk di bidang industri.

SMSI semakin mengenal lebih dekat ekosistem media. Disrupsi multidimensi tidak bisa dihindarkan. Semua berjalan secara alamiah. Alam sedang berjalan sesuai kodratnya. Tidak ada yang bisa nenolak. Disrupsi teknologi barlangsung tali-temali, menghidupkan dan meruntuhkan.

Kita tidak menyerah pada disrupsi teknologi. Dari awal SMSI tidak mau sekedar mengantisipasi perkembangan teknologi. Itu langkah pengekor. Tetapi semua anggota tahu bahwa SMSI tampil merancang perubahan jauh di depan teknologi itu sendiri.

Sejak awal SMSI mendidik semua awak bisnis media dan redaksi bekerja di lapangan langsung, bukan mengutip informasi AI yang masih perlu verifikasi. Jurnalisme yang berkualitas menjadi motto SMSI.

Sekilas SMSI

Selasa, 7 Maret 2017 menjadi tonggak bersejarah bagi dunia pers tanah air. Hari itu sebuah lembaga yang kemudian diberi nama SMSI diproklamirkan oleh sejumlah pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari berbagai provinsi di Indonesia. Pembentukan SMSI digagas oleh Ketua PWI Banten, saat itu PWI Banten dipimpin oleh Firdaus.

Dengan diproklamirkannya pendirian SMSI, kemudian diikuti dukungan para ketua PWI se-Tanah Air, dengan membentuk SMSI di provinsi-provinsi masing-masing.

Maka jadilah SMSI sebagai organisasi pers nasional yang menjadi wadah para pengusaha pers online atau media siber. Sekarang tercatat sekitar 1.700 pengusaha media siber bergabung. Mereka sebagian besar para start-up yang mengembangkan usaha pers.

Tiga tahun berjalan pada 29 Mei 2020 secara resmi SMSI ditetapkan sebagai konstituen Dewan Pers dengan surat keputusan Dewan Pers Nomor 22/SK-DP/V/2020 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, 29 Mei 2020.

Dengan ketetapan tersebut maka saat itu jumlah konstituennya menjadi 10, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan SMSI.

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) SMSI 26 – 27 September 2020, di Hotel Marbella Anyer, SMSI mengukuhkan arah organisasi dan pemantapan program kerja.

Kemudian dirumuskan secara sistematis, bahwa SMSI menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan anggota dan pengurus.

Untuk 5 tahun pertama, SMSI membagi program menjadi dua program pokok, Pertama, program berorientasi ke dalam (internal). Kedua, program berorintasi ke luar (eksternal).

Khusus internal ada tiga program prioritas internal yaitu pertama, pendataan dan verifikasi anggota setanah air; kedua, tahun 2020 – 2021 diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur SMSI hingga kota dan kabupaten di seluruh Indonesia; ketiga, memperkuat news room yang menjadi perekat jaringan media siber di Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan amanah rakernas tersebut, dengan keterbatasan di tengah badai pandemi Covid-19, SMSI bergerak membangun siberindo.co sebagai news room terbesar di Tanah Air yang diluncurkan pada 10 Oktober 2020 di Bintaro Tangerang Selatan.

Sebelumnya sudah dibangun sin.co.id dan indonesiatoday.co. Sementara itu, secara eksternal sesuai hasil Rakernas 26 – 27 September 2020, SMSI akan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan anggota dan pengurus.

Terkait hal tersebut, SMSI membagi program yang berorientasi eksternal menjadi tiga yaitu pertama, membangun hubungan dengan seluruh jajaran pemerintahan dalam rangka memperkuat tatanan pemerintahan untuk mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat. Kedua, membangun hubungan dengan dunia usaha dan masyarakat pers sebagai komunitas SMSI; dan ketiga, membangun dan memperkuat hubungan SMSI di tataran international. (*)

Loading

ucapan galungan dprd bali
Advertisements
hut mangupura
Advertisements
Sumpah Pemuda DPRD Badung
Advertisements
bks lpd
Advertisements
dprd badung
Advertisements
iklan
Lanjutkan Membaca