OPINI
Mengenyahkan Kegelapan: Refleksi dari Kisah Mochtar Kusumaatmadja
Orasi Ilmiah IDG Palguna pada Puncak Peringatan Dies Natalis Ke-61 Unud
BALIILU Tayang
1 tahun yang lalu:
DIES NATALIS adalah peringatan hari lahir. Bagi Universitas Udayana, sebagai perguruan tinggi, pertanyaan mendasar dan tak pernah berakhir setiap kali dies natalis-nya datang ialah ke mana kita menuju dan sudah sampai di mana kita berjalan? Penggalan pertanyaan “ke mana kita menuju?” merujuk pada mimpi yang hendak diwujudkan, sedangkan penggalan pertanyaan “sudah sampai di mana kita berjalan?” merujuk pada evaluasi terhadap jerih payah kita dalam mewujudkan mimpi dimaksud. Dalam konteks itu, perkenankan saya mengisi orasi ini dengan memulainya dari sebuah kisah tentang seorang intelektual-akademisi cum politikus yang telah mengubah perjalanan sejarah dan wajah bangsa ini untuk selamanya – bahkan juga telah mengubah tatanan dunia, khususnya di bidang hukum laut, juga buat selamanya. Dia adalah Profesor Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M (almarhum). Kisah beliau ini pernah pula saya tulis di rubrik Jendela Majalah Konstitusi, edisi Juni 2021.
Ceritera dimulai ketika Mochtar Kusumaatmadja muda menjadi pegawai di Biro Devisa Perdagangan (BDP) – Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) di menjelang akhir tahun 1950-an. Pada saat yang hampir bersamaan, Mochtar Kusumaatmadja juga dijadikan penasihat Chairul Saleh yang saat itu menjabat sebagai Menteri Veteran (dan kemudian Menteri Perindustrian), meskipun Mochtar sendiri mengaku tidak ingat, apakah untuk itu dia menerima surat pengangkatan resmi atau tidak. Pokoknya bekerja saja. Saat itu hubungan antara Indonesia dan Belanda sedang tegang-tegangnya. Penyebabnya bersangkut-paut dengan Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat (sekarang Papua) yang statusnya akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Namun, hingga lewat pertengahan 1950-an itu Belanda selalu menunda-nunda penyelesaiannya. Ketegangan makin meningkat dan mengarah kepada pecahnya konfrontasi karena Belanda secara demonstratif melalulalangkan kapal-kapalnya di Laut Jawa, termasuk kapal perang yang memuat Pasukan Marinir Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), yang akan ditugaskan di Irian Barat. Secara hukum, tindakan Belanda tersebut tidak dapat dipersalahkan. Sebab, pada saat itu, meskipun sudah merdeka, Indonesia masih memberlakukan undang-undang buatan Belanda dalam pengaturan wilayah lautnya, yaitu Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939. Pasal 1 ayat (1) Ordonansi 1939 tersebut menyatakan, laut teritorial Indonesia lebarnya tiga mil yang diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) Indonesia. Hal itu berarti, masing-masing pulau di Indonesia ini memiliki laut wilayahnya sendiri. Konsekuensinya, jika jarak pulau yang satu dengan yang lain lebih dari 6 mil maka di antara kedua pulau itu akan terdapat laut bebas atau laut lepas (high sea) yang tidak tunduk pada kedaulatan Indonesia. Itulah yang terjadi di Laut Jawa. Di antara batas terluar 3 mil dari Pulau Jawa dan batas terluar 3 mil dari Pulau Kalimantan membentang laut lepas. Keadaan yang sama juga berlaku di laut-laut lain yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Jadi, kapal-kapal Belanda yang lalu-lalang di Laut Jawa itu, betapa pun demonstratif dan provokatifnya, sama sekali tidak melanggar hukum yang berlaku pada saat itu. Demikian pula ketika Belanda melakukan tindakan show of force dengan mengirimkan kapal induknya, Hr. Ms. Karel Doorman, ke Irian Barat melalui Laut Jawa. Kita hanya bisa jengkel.
Sesungguhnya, pada 17 Oktober 1956, Pemerintah Indonesia di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo telah membentuk Panitia Interdepartemental (INTERDEP) yang diberi mandat menyusun Rancangan Undang-Undang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Indonesia untuk menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 tadi. Namun, hingga hingga pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo “jilid II” berakhir, rancangan undang-undang dimaksud belum juga berhasil disusun. Mochtar Kusumaatmadja, ahli hukum laut yang saat itu baru saja menyelesaikan masternya dari Yale University, dimasukkan sebagai anggota Panitia ini pada 1 Agustus 1957. Demonstratifnya, bahkan provokatifnya, Belanda dengan kapal-kapal perangnya yang lalu-lalang di Laut Jawa itu ditambah dengan Panitia Interdepartemental yang tak kunjung berhail menyelesaikan mandatnya rupanya membuat Menteri Veteran Chairul Saleh berang. Sang Menteri kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, itu pun mendatangi kediaman Mochtar Kusumaatmadja. “Eh, Mochtar, apa kerja kalian di Panitia itu? Kok tidak hasilnya? Ini kapal perang Belanda kok mondar-mandir di Laut Jawa, apa Laut Jawa itu tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” Dengan polosnya Mochtar Kusumaatmadja menjawab, “Tidak bisa dong. Itu bertentangan dengan hukum internasional.” Mendengar jawaban Mochtar, alih-alih mereda, Chairul Saleh yang memang terkenal sebagai tokoh nasionalis dan revolusioner itu justru berkata lebih keras lagi, “Pokoknya bikin supaya bisa. Kamu ini masih muda ngomongnya kayak apa, tidak revolusioner… Kamu harus mengubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa. Kecuali kalau kamu sudah ditanam, sudah ada batu nisan dengan nama kamu di atasnya, baru boleh bilang tidak bisa. You sanggup nggak?” Melihat Chairul Saleh yang begitu bersemangat, Mochtar Kusumaatmadja, yang awalnya mengaku kesal, lama-lama jadi terpengaruh dan merasa tertantang. Maka ia pun menjawab, “Baik. Begini saja. Saya kan pegawai BDP/LAAPLN. Saya tidak bisa memikirkan hal ini sambil kerja. Saya memerlukan perlop (cuti). Kalau Uda Chairul bisa mengusahakan perlop maka saya akan pergi ke Bandung dan coba-coba membuat konsep untuk menjadikan Laut Jawa itu laut pedalaman.” Chairul Saleh rupanya benar-benar serius. Ia berhasil memintakan cuti dimaksud. Maka berangkatlah Mochtar Kusumaatmadja ke Bandung.
Singkat kisah, di Bandunglah Mochtar Kusumaatmadja mengerahkan segenap pengetahuan, kecerdasan, dan intelektualitasnya. Hal yang menjadi kegelisahannya bukan sekadar bagaimana menjadikan perairan atau laut di antara pulau-pulau di Indonesia itu sebagai laut pendalaman (internal waters), sehingga laut itu tidak lagi berstatus laut lepas tetapi tunduk pada kedaulatan Indonesia, melainkan kecemasannya sebagai seorang nasionalis perihal cara berpikir orang-orang yang mendiami pulau-pulau di nusantara itu. Ia berpikir, adanya ketentuan lebar laut wilayah tiga mil untuk masing-masing pulau, yang berarti di antara pulau-pulau itu ada laut bebas, membuat orang-orang Indonesia yang tinggal di pulau-pulau yang berbeda cenderung mengidentifikasikan diri bukan sebagai orang Indonesia melainkan sebagai orang Jawa, orang Sumatera, orang Maluku, orang Sulawesi, dan seterusnya, sesuai dengan tempat kediamannya, karena setiap pulau mempunyai lautnya sendiri. Jadi, di sini laut justru menjadi pemisah, bukan sebagai penghubung orang-orang Indonesia yang berdiam di pulau-pulau itu. Cara pandang ini yang harus diubah. Laut bukan lagi dipandang memisahkan (sebagaimana cara berpikir yang ditanamkan oleh penguasa kolonial Belanda) melainkan justru menyatukan. Dengan cara pandang baru itu perasaan keindonesiaan akan makin terbangun.
Dasar Pemikiran Mochtar
Inilah dasar pemikiran utama Mochtar Kusumaatmadja yang melandasi kelahiran magnum opus-nya, karya besarnya, Konsepsi Wawasan Nusantara. Namun, untuk sampai ke sana sama sekali bukan perjalanan yang mudah, baik secara intelektual-akademik maupun politik. Secara intelektual-akademik, untuk menghapuskan konsepsi laut wilayah tiga mil saja dibutuhkan argumentasi kuat, khususnya pandangan ahli dan preseden berupa praktik negara-negara. Dari bacaannya yang luas, Mochtar Kusumaatmadja mengetahui kalau batas lebar laut wilayah tiga mil, saat itu, tidak lagi sepenuhnya berlaku sebagai a generally accepted rule of international law. Salah satu buktinya, pada Konferensi Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Volkenbond (Liga Bangsa-Bangsa) di Den Haag (The Hague) 1930, dari 37 negara peserta, hanya 9 negara yang masih mempertahankan batas laut wilayah tiga mil. Bukti lain, walaupun International Law Commission (ILC), yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 21 November 1947 dan beranggotakan 15 ahli hukum terkenal yang diakui kompetensinya dalam hukum internasional, dalam sidangnya tahun 1949 masih berpendapat bahwa pelebaran laut wilayah tidak boleh sampai 12 mil, praktik negara-negara pada saat itu menunjukkan penetapan lebar laut wilayah mereka antara 3 sampai dengan 12 mil. Hingga di sana, Mochtar Kusumaatmadja merasa mendapat cukup keberanian (dan argumentasi) untuk menetapkan lebar laut wilayah 12 mil.
Persoalan berikut yang tidak kalah peliknya ialah pertanyaan perihal dari mana dan bagaimana cara mengukur lebar 12 mil itu? Dalam hal ini, Mochtar ingat dengan putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tahun 1951 dalam sengketa perikanan yang melibatkan Inggris dan Norwegia, Anglo-Norwegian Fisheries Case. Dalam putusan itu, Mahkamah Internasional menerima cara penetapan garis pangkal yang dinamakan garis pangkal lurus (straight baseline) yang ditarik dari ujung ke ujung yang menghubungkan titik-titik terluar kepulauan lepas pantai suatu negara. Dari garis pangkal itulah titik pangkal penarikan lebar laut wilayah dimulai. Meskipun cara tersebut diberlakukan untuk kepulauan lepas pantai, bukan untuk negara kepulauan (yang saat itu belum dikenal konsepsinya), Mochtar Kusumaatmadja menggunakannya untuk konsepsi negara kepulauan Indonesia.
Sementara itu, selain putusan Mahkamah Internasinal di atas, Mochtar Kusumaatmadja juga ingat bahwa pada 7 Maret 1955 Filipina pernah melakukan klaim sepihak (unilateral claim) dengan mengirimkan note verbale kepada Sekjen PBB dan pada 20 Januari 1956 kepada International Law Commission. Kedua note verbale itu isinya sama yaitu, antara lain, Filipina menyatakan bahwa semua perairan di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau dari kepulauan Filipina berada di bawah kedaulatan Filipina.
Wawasan Nusantara
Gagasan Mochtar Kusumaatmadja tentang negara kepulauan atau Wawasan Nusantara tersebut dibawa ke rapat Panitia INTERDEP dan akhirnya kemudian untuk dijadikan laporan sekaligus rekomendasi Panitia INTERDEP kepada Perdana Menteri H.R. Djuanda Kartawidjaja, perdana menteri pengganti Ali Sastroamidjojo. Akhir ceritera, kita semua tahu, gagasan Mochtar Kusumaatmadja ini, oleh Perdana Menteri Djuanda, lalu dituangkan ke dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi 13 Desember 1957 atau Deklarasi Djuanda – yang nama resminya adalah “Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia.” Ada empat hal mendasar yang perlu digarisbawahi dari Deklarasi ini yang sekaligus mencerminkan kejeniusan seorang Mochtar Kusumaatmadja.
Pertama, deklarasi ini menegaskan bahwa secara geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau memiliki corak tersendiri. Demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan alamnya maka seluruh kepulauan Indonesia dan laut yang terletak di antaranya harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat. Karena itu, penentuan batas laut teritorial sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 442) tidak sesuai lagi sebab ordonansi ini membagi wilayah daratan Indonesia ke dalam bagian-bagian yang terpisah dan memiliki laut teritorialnya sendiri-sendiri.
Kedua, berdasarkan pertimbangan tadi, deklarasi lantas masuk kepada poin utamanya yaitu bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya, adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Indonesia dan karenanya merupakan bagian dari perairan nasional Indonesia dan berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Konsekuensi mendasar dari poin ini ialah bahwa perairan atau laut yang berada di antara atau yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia, yang sebelumnya terdapat laut lepas atau laut bebas, melalui deklarasi ini berubah (tepatnya diklaim) menjadi perairan pedalaman (internal waters).
Ketiga, deklarasi menyatakan bahwa lalu lintas damai (innocent passage) kapal asing di perairan pedalaman Indonesia dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Poin ini adalah semacam “imbalan” sekaligus jaminan Indonesia kepada negara-negara yang kapal-kapalnya selama ini secara bebas melakukan pelayaran melalui laut yang mulanya merupakan laut lepas (sehingga tidak tunduk kepada kedaulatan negara mana pun) dan kini berubah menjadi perairan pedalaman Indonesia. Dengan kata lain, pesan yang hendak disampaikan melalui poin ini ialah bahwa negara-negara tersebut tidak perlu khawatir jika kapal-kapalnya melintas di perairan pedalaman Indonesia sepanjang dalam pelayarannya mereka benar-benar mematuhi ketentuan hak lintas damai (right of innocent passage).
Keempat, deklarasi juga memuat hal mendasar lainnya yaitu lebar laut teritorial dan cara mengukurnya. Dikatakan bahwa batas laut terirorial adalah 12 mil dan diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia. Cara penarikan garis pangkal ini dikenal dengan nama metode garis pangkal lurus (straight base line method). Sebagaimana telah disinggung di atas, sebelum digunakan lewat deklrasi ini, cara penarikan garis pangkal demikian telah diakui dan dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Internasional yang terkenal, yaitu dalam sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 – meskipun bukan untuk negara kepulauan. Mochtar Kusumaatmadja “meminjamnya” guna menguatkan argumentasinya bagi konsepsi negara kepulauan.
Berselang sehari setelah Deklarasi tersebut dimuat di berbagai koran, negara-negara besar, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Jerman, Jepang, dan tentu saja Belanda mengajukan protes keras dan penentangannya. Mochtar Kusumaatmadja menceriterakan, “Saya kaget. Saya merasa bahwa ini perbuatan saya, seluruh dunia geger melawan Republik kita. Saya sambil bawa koran-koran tersebut dan buru-buru pagi-pagi pergi ke rumah Chairul Saleh di Jalan Lombok 23 Menteng, Jakarta. ‘Ada apa’, katanya. ‘Sudah baca koran’, tanya saya sambil memperlihatkan surat kabar. ‘Apa, ada apa dengan koran?’ katanya. Mochtar kemudian mengatakan, “Ini, baca koran. Semua negara protes.” Rasanya, langit ini seperti runtuh, kata Mochtar. Bukannya kaget, Chairul Saleh malah berkata, ‘O, mereka protes ya? Kalau negara-negara besar imperealis itu protes artinya kita berada di jalan yang benar.’
Kita bersyukur, Indonesia tidak gentar menghadapi protes dan penentangan negara-negara besar tersebut. Bukan hanya tidak gentar, menyusul Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia justru memperkuatnya dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Sikap Indonesia sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Djuanda dan Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tersebut selanjutnya dijadikan pedoman perjuangan tak kenal lelah Indonesia selama seperempat abad dalam diplomasi internasional di bidang hukum laut sampai kemudian Wawasan Nusantara atau konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) itu diterima dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea). Bersamaan dengan diterima konsepsi negara kepulauan atau archipelagic state itu, diterima pula oleh Konvensi Hukum Laut PBB konsepsi-konsepsi lain yang berkait erat dengan konsepsi negara kepulauan seperti konsepsi perairan kepulauan (archipelagic waters), hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea-lane passage), untuk menyebut beberapa contoh, yang saat ini bukan lagi sekadar konsepsi melainkan telah menjadi ketentuan hukum internasional positif (de lege lata). Karena itu, tidak berlebihan jika Damos Dumoli Agusman, Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Austria, Slovenia, dan Organisasi Internasional, mengatakan bahwa, melalui Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia telah menciptakan hukum internasional. Melalui Mochtar Kusumaatmadja pula, Indonesia membuktikan bahwa inisiatif untuk mengubah dunia tidak selalu harus berjalan satu arah dan tidak selalu merupakan “jatah” negara-negara maju melainkan proses dialektik dua arah. Sampai di sini, saya jadi teringat ucapan Mehmet Murat Ildan, sastrawan penulis naskah drama dari Turki, “You may live in an unknown small village, but if you have big ideas, the world will find you” (Anda bisa saja tinggal di sebuah kampung kecil yang tak dikenal, namun jika anda memiliki gagasan-gagasan hebat, dunia akan menemukan anda).
Unud sebagai Widya Mahamerta
Poin yang hendak saya sampaikan melalui kisah yang pemaparannya cukup memakan waktu di atas bukanlah sekadar agar kita tidak lupa jasa besar seorang Mochtar Kusumaatmadja melainkan ada kaitannya dengan tema peringatan Dies Natalis Universitas Udayana ke-61 ini, “Membangun sinergi, menciptakan prestasi.”
Mochtar Kusumaatmadja adalah sosok pemikir yang lahir dari tradisi akademik universitas. Misi utama universitas adalah mengenyahkan kegelapan. Itulah yang diajarkan oleh sejarah kepada kita ketika di sekitar tahun 1088 sekumpulan studiorum, kaum terpelajar, mendirikan Universitá di Bologna alias Universitas Bologna yang berlokasi di region Emilia-Romana, Italia. Inilah perguruan tinggi pertama yang menggunakan terminologi “universitas” untuk proses kegiatan belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswanya. Universitas Bologna hadir sebagai perguruan tinggi pertama yang menandai mulai berakhirnya kegelapan panjang di Eropa belahan barat pasca-runtuhnya Kekaisaran Romawi. Begitu panjangnya kegelapan itu, yaitu mencapai rentang waktu 500 (lima ratus) tahun, dari tahun 400 hingga 900 sesudah Masehi, sehingga disebut “Abad Kegelapan” (Dark Age). Penyebabnya tidak lain adalah hilangnya tradisi belajar. Hilangnya tradisi belajar tersebut menyebabkan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban besar sebelumnya, yaitu peradaban Yunani dan Romawi, musnah nyaris tak berbekas – kecuali yang sedikit masih bisa diselamatkan di biara-biara atau katedral-katedral. Dalam kegelapan demikian orang lebih percaya kepada (dan hidup bersama) gosip tinimbang pengetahuan. Sementara itu, secara sosial, dampak dari kegelapan demikian ialah berkembangnya sistem feodal – yaitu sistem sosial yang terbentuk oleh dan dalam kelas-kelas sosial: bangsawan, agamawan, dan budak.
Titik awal kebangkitan Eropa Barat untuk keluar dari kegelapan terjadi tatkala, pada kira-kira abad ke-12, beberapa gelintir orang yang mendapatkan pendidikan hukum dan mengabdi kepada raja mulai tertarik untuk mempelajari dan mendalami kembali pemikiran-pemikiran para cendekia dari era kebesaran Yunani dan Romawi, khususnya karya-karya Aristoteles dan Kode Yustinianus (Code of Justinian), yang tiada lain adalah kumpulan teori hukum dari Abad ke-6 Masehi yang disusun atas perintah Kaisar Yustinianus dari Kekaisaran Byzantium yang dinamakan Corpus Iuris Civilis. Ini kemudian mendorong terjadinya kegairahan untuk memikirkan tatanan kenegaraan modern yang dimulai dengan mendalami studi hukum. Universitas Bologna adalah bagian dari kegairahan baru itu. Maka tidak mengherankan kalau semboyan atau mottonya berbunyi “Petrus ubique pater legum Bononia mater” (St. Peter is everywhere the father of law, Bologna is its mother) yang jika diterjemahkan secara bebas berarti “Santo Petrus adalah ayah hukum di manapun, sedangkan Bologna adalah ibunya. Namun, anehnya, tokoh-tokoh besar yang dilahirkan olehnya justru para pencerah non-hukum, seperi Dante Alighieri (penyair dan filsuf Itali dari Abad ke-14), Erasmus (cendekiawan dan filsuf besar Belanda), Nicolaus Copernicus (matematikawan sekaligus astronom dengan teori masyurnya yang menempatkan matahari sebagai pusat tata surya), Lazzaro Spallanzani (fisiolog dan penemu Teori Generasi Spontan atau Spontaneus Generation dalam biologi), dan lain-lain.
Karena itu, dalam tengara saya, dengan berkaca dari sejarah di atas, bukanlah suatu kebetulan jika Universitas Udayana mengidealkan untuk memberikan “Widya Mahamerta” sebagai “Pusaka” kepada anak-anak didiknya. Widya (Vidhya) tiada lain adalah “ibu pengetahuan dan kebenaran.” Adakah “pusaka” yang lebih mulia sehingga bisa disebut Mahamerta selain Widya (Vidhya) alias ibu pengetahuan dan kebenaran? Maka, dengan “Pusaka” itulah Universitas Udayana hendak menugaskan misi suci memerangi dan mengusir kegelapan kepada anak-anak didiknya – seperti yang dicontohkan oleh Universitá di Bologna.
Di sinilah sinergi menjadi keniscayaan. Misi universitas mengenyahkan kegelapan yang ditandai kemampuan melahirkan sosok-sosok pencerah masyarakat, bangsa, dan negara, seperti Mochtar Kusumaatmadja, tak mungkin diwujudkan tanpa adanya sinergi berbagai komponen. Sinergi antara visi universitas dan pengejawantahannya dalam misi serta langkah-langkah konkretnya dalam program aksi di ranah empirik. Sinergi antara “mimpi” pimpinan universitas dan “tangkapan” pimpinan fakultas atas mimpi itu sehingga lahir satu kesatuan langkah yang solid. Bahkan juga, jika bukan terutama, sinergi dengan kebijakan Pemerintah. Karena itu, jika kebijakan pemerintah, di bidang pendidikan tinggi khususnya, misalnya yang berkenaan tugas pokok dosen, lebih menekankan pada terbangunnya kerapian administrasi parameter kinerja para dosen – yang ironisnya acapkali tidak bersangkut-paut dengan penghargaan finansial dosen yang bersangkutan – maka, percayalah, sistem itu hanya akan melahirkan dosen-dosen lebih tertarik untuk mengurus dirinya sendiri tinimbang melakukan dialektika model “taman akademos” dengan mahasiswanya dalam proses belajar ala Akademia Plato, yang seharusnya menjadi karakter perguruan tinggi atau universitas. Invensi tidak lagi menjadi obsesi dan digantikan oleh target-target administratif pemenuhan syarat beban kerja yang harus senantiasa tersusun rapi dan selalu dibayang-bayangi oleh ancaman ini itu. Akan adakah sosok fenomenal yang lahir dari kebijakan dan habitat macam itu? Mungkin ada namun itu hanya akan berupa pengecualian, sesuatu yang eksepsional, bukan konsekuensi rasional yang lahir dari solidnya sinergi dari hulu hingga hilir.
Jika kita meyakini misi utama universitas adalah mengenyahkan kegelapan dan “senjata” untuk mengenyahkan kegelapan itu adalah “pusaka” yang bernama widya, ibu segala pengetahuan dan kebenaran, maka, bagi insan universitas, jalan pembuka untuk mengerjakan misi itu adalah menyingkirkan rasa takut.
Karena itu, saya ingin menutup orasi ini dengan mengutip ucapan William C. Faulkner, penerima Nobel Sastra 1949, “Never be afraid to raise your voice for honesty and truth and compassion against injustice and lying and greed. If people all over the world … would do this, it would change the earth” (Jangan takut untuk mengangkat suaramu bagi kejujuran dan kebenaran dan perasaan haru untuk melawan ketidakadilan dan dusta dan ketamakan. Jika orang-orang di seluruh dunia … mau melakukannya, hal itu akan mengubah dunia).
IDG Palguna, Denpasar, 29 September 2023.
Berita Terkait
OPINI
‘’The Power of Healing Hypnosis’’, Tuntunan Bekerja Lebih Sehat, Bahagia dan Produktif
Published
5 bulan agoon
6 Juli 2024APAKAH Anda sering merasa terdistraksi saat bekerja? Kurang produktif? Kesulitan untuk mencapai target atau ekspektasi yang diharapkan?
Memiliki fokus yang mendalam dan bekerja produktif memang menjadi tantangan nyata pada kehidupan modern kini. Realitasnya, lingkungan kerja juga tidak selalu menawarkan situasi yang ideal bagi semua orang. Dan, pada akhirnya, kita sendirilah yang perlu turut memiliki kesadaran untuk berubah dan menyesuaikan.
Buku ‘’The Power of Healing Hypnosis’’ yang mengupas tentang healing hypnosis menawarkan cara untuk memprogram ulang pikiran kita agar tetap positif, bersyukur, sehat, dan bahagia. Ulangilah secara terus-menerus dan implementasikan dalam kehidupan untuk menemukan perubahan besar, baik dalam pekerjaan maupun keseharian Anda.
‘’Buku ini saya tulis untuk membantu para profesional agar dapat lebih produktif dalam bekerja, mereka yang kelelahan atau bahkan stres karena tuntutan dari pekerjaan dan orang lain,’’ ucap Made Suwenten, penulis buku The Power of Healing Hypnosis dalam satu kesempatan peluncurannya pada Juni 2024 ini di Gramedia Teuku Umar Denpasar.
Buku ”The Power of Healing Hypnosis” sudah tersedia di Gramedia. (Foto: gs)
Made Suwenten yang adalah seorang love & light energy master teacher, enlightment life coach, dan trainer, menjelaskan bekerja di perusahaan itu ibarat menggunakan treadmill. Beban kecepatannya ditentukan oleh diri kita sendiri. Dan, setiap program yang kita atur memengaruhi tingkat stres dan juga hasil yang dicapai.
Para pekerja yang tidak profesional tentu mengharapkan imbal balik yang tinggi dari perusahaan dengan kontribusi yang terbatas. Sedangkan, mereka yang profesional berupaya untuk menjadikan pekerjaannya terbaik demi memperoleh hasil yang melampaui ekspektasi. Untuk itulah mereka perlu daya tahan fisik, psikologis, dan spirit yang baik agar terhindar dari kelelahan yang berujung pada kondisi tidak sehat.
Made Suwenten menegaskan, sangat penting bagi para profesional untuk menjaga kesehatan dan kebahagiaan dengan mengedepankan rasa syukur secara terus-menerus. Bagaimana seseorang mengelola emosi di dalam bekerja juga amatlah penting. Artinya, seseorang perlu tetap bersemangat, positif, dan menempatkan setiap masalah yang ada sebagai ‘referensi’ untuk meningkatkan semangat berkarya.
Bahagia adalah kondisi mental, yakni pikiran dan emosi yang dapat menerima situasi apa adanya serta melihatnya dari sisi yang positif. Dalam buku ini disebutkan ada empat hormon yang memengaruhi emosi manusia menuju kebahagiaan yakni pertama, hormon Dopamin sebagai neurotransmitter yang memengaruhi emosi, konsentrasi hingga gerakan. Kedua hormon Endorfin adalah senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang dan berkaitan dengan kekebalan tubuh. Endorfin umumnya diproduksi oleh tubuh pada saat kita merasa bahagia, tertawa, dan beristirahat cukup. Ketiga hormon Serotonin adalah hormon yang terdapat dalam kelenjar oinealis, saluran pencernaan, sistem saraf pusat, dan keping darah (trombosit). Sering disebut sebagai ‘hormon bahagia’. Serotonin memiliki fungsi penting bagi kesejahteraan mental kita. Hormon ini juga sangat dominan untuk membangkitkan mood manusia. Dan keempat, hormon Oksitosin yang disebut-sebut sebagai ‘hormon cinta’. Hormon inilah yang bekerja saat kita berpelukan, berpegangan tangan, berciuman, dan melakukan kegiatan romantis lainnya. Sebagai hormon cinta, oksitosin memberikan kebahagiaan melalui keintiman dan kepercayaan. Hormon ini membuat kita merasa aman, bahwa semua akan berjalan dengan baik-baik saja.
Made Suwenten saat menjelaskan tentang Healing Hypnosis di acara peluncuran buku ”The Power of Healing Hypnosis” di Gramedia Teuku Umar Denpasar. (Foto: gs)
Made Suwenten menyebutkan untuk memaksimalkan fungsi hormon-hormon tersebut sehingga memperoleh kebahagiaan yakni dengan berpikir dan berperilaku yang positif dengan lebih banvak memberikan penghargaan kepada orang lain ataupun diri sendiri. Jalan-jalanlah sesekali ke tempat wisata, khususnya yang bernuansa alam seperti pantai, taman, dan lain sebagainya.
Melakukan olahraga secara teratur minimal 30 menit setiap hari. Di samping untuk melenturkan otot, memperbaiki aliran darah dan oksigen dalam tubuh, olahraga juga bisa melepaskan ketegangan dan meningkatkan rasa bergairah. Jalin hubungan baik dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang terkasih Anda. Lakukan pelukan setiap hari selama 20 detik, mengobrollah secara langsung dengan rekan-rekan Anda. Bagi yang sudah memiliki pasangan, jagalah gestur dan aktivitas romantis Anda bersama pasangan.
Atur pola makan yang bergizi seimbang (mengandung karbohidrat, protein, lemak. vitamin, mineral, air dan serat) dengan berkecukupan. Lakukan meditasi atau relaksasi untuk menjaga kesehatan emosi, mental, fisik, dan spiritual Anda. Dengan meditasi, pikiran untuk menjadi positif dan jinak. Anda-lah yang menjadi nahkoda untuk pikiran Anda, bukan Anda melatih sebaliknya.
Made Suwenten mengungkapkan, untuk menangani karyawan yang sudah menderita adiksi atau perilaku kerja seperti ketergantungan (ketagihan) nikotin atau rokok karena beberapa alasan seperti memandang rokok bisa menghilangkan stres, menggunakan ponsel yang dipakai untuk bermain online game dengan menghabiskan waktu berjam-jam, kelelahan akibat tekanan dalam rumah tangga, jauhnya jarak rumah-kantor, dan tuntutan ekonomi, berutang, hingga dikejar-kejar penagih utang, dan masuk dalam pola perjudian yang dilakukan secara langsung dan online, bukan perkara mudah. Namun bila tidak ditangani dengan serius, kondisinya dapat merusak produktivitas dan dapat berlanjut menular kepada karyawan lainnya.
Pendekatan manajemen dan hukum saja tidaklah cukup. Diharapkan juga upaya ‘penyembuhan’, terlebih oleh karyawan yang bersangkutan. Orang yang bermasalah itu sendiri perlu memiliki kesadaran dan keinginan untuk berubah, yang kemudian didukung oleh sistem tempat kerja. Itulah sebabnya Healing Hypnosis ini dapat bermanfaat bagi para pekerja kantoran.
Hipnosis adalah keadaan relaksasi mendalam yang memungkinkan kita untuk mengakses pikiran bawah sadar kita. Melalui hipnosis, kita dapat memprogram ulang keyakinan negatif dan mengatasi perilaku yang membatasi kita. Hipnosis adalah saat Anda menghentikan niat untuk makan makanan tertentu dan Anda berhasil melakukannya.
Namun Made Suwenten menyebutkan masalah bagi sebagian besar orang adalah kesulitan untuk melakukan relaksasi dan fokus kepada diri sendiri. Hal ini yang kemudian menjadikannya tidak dapat memasuki pikiran bawah sadarnya, untuk melakukan perubahan melalui sugesti-sugesti.
Sementara itu, Healing Hypnosis adalah suatu proses penyehatan fisik, mental, emosi, dan spiritual menggunakan teknik hipnosis.
Dalam buku Made Suwenten berjudul Practical Hypnotherapy Guide Book, dimana kemampuan manusia untuk mencapai kesuksesan 10% ditentukan oleh pikiran sadarnya dan 90% ditentukan oleh pikiran bawah sadarnya. Ada beberapa cara untuk memasuki bawah sadar kita dan melakukan perubahan, termasuk melejitkan potensi-potensi yang dimiliki. Cara-cara tersebut antara lain berkomunikasi secara langsung dengan bawah sadar.
Healing bisa dilihat sebagai upaya memperbaiki semua yang ada di semesta ini. Seseorang yang tertarik untuk healing tidak harus mengikuti pelatihan khusus agar dapat mengakses entitas energi penyembuhan tertentu. Healing bisa dilakukan dengan melakukan perubahan-perubahan kebiasaan dan melatih fokus terhadap hal yang diinginkan.
Healing bukan sekadar kunci untuk menyelesaikan semua masalah yang Anda hadapi, melainkan juga batu loncatan untuk meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri. Healing merupakan proses untuk meningkatkan kesadaran atas diri sendiri. Dan sejatinya, healing menjadikan diri kita sebagai pemilik hati kita sendiri. Anda dan siapa pun bisa mengaktifkan energi healing yang sudah ada di dalam diri kita masing-masing. Dalam buku ini pembaca akan dituntun teknik sederhana untuk mengaktifkan energi healing tersebut.
Penulis
Made Suwenten yang lahir di Wanagiri Buleleng adalah seorang love & light energy master teacher, enlightment life coach, dan trainer. Made Suwenten berpengalaman luas selama lebih dari 30 tahun menjadi praktisi dan pengelola sumber daya manusia di berbagai perusahaan. Posisinya yang pernah dijabatnya adalah sebagai direktur HR pada sebuah hotel berbintang lima di Jakarta.
Dalam perjalanan kariernya, Made Suwenten telah banyak memberikan kursus, training, seminar, workshop, maupun konsultasi dalam bidang manajemen. la juga melayani konsultasi untuk kehidupan perseorangan dan keluarga. Topik-topik yang dibawakannya selalu sesuai dengan tuntutan zaman dan berfokus pada outcomes yang diinginkan oleh para kliennya. Made juga dikenal sebagai seorang terapis yang menggunakan keilmuan esoteric, prana, neuro-linguistic programming, maupun hypnotherapy.
la sudah menulis beberapa buku, seperti Ultimate Self Healing, Great Leader in You, Practical Hypnotheraphy Guide Book, Life Journey, Working Spirit for Success, dan Sebuah Seni Untuk Damai dan Bahagia di Hati.
Pada tahun 2009, ia mendirikan Yayasan Mahogani Focus Solution Indonesia yang memberikan pelayanan dalam bidang pengembangan SDM di luar sekolah, seperti pemberdayaan diri, manajemen SDM, dan kepemimpinan. la juga mendirikan klinik hipnoterapi untuk membantu masyarakat luas yang terkena penyakit emosi dan fisik. Alamat Mahogani Centre di Jalan Tukad Petanu II Nomor 4, Puskopad 1, Sanggulan Indah, Banjar Anyar, Kediri Tabanan
Selanjutnya tulisan-tulisannya akan dimuat secara berseri di media ini. (Gede Sumida)
OPINI
Koster Adalah Gubernur Bali yang Berhasil Melembagakan Warisan Pengobatan Usada ke Dalam Pengobatan Kesehatan Tradisional
Published
8 bulan agoon
3 April 2024PENGOBATAN Tradisional Usada sebelum Wayan Koster menjabat Gubernur Bali periode 2018- 2023 hanya menghiasi khasanah literatur warisan budaya usada Bali dalam berbagai kajian, prakteknya belum bisa dilaksanakan di layanan kesehatan. Peraturan Gubernur Bali Nomor 55 Tahun 2019, Koster meletakkan pondasi hukum pelaksanaan pelayanan kesehatan tradisional Bali dan mewajibkan praktek pelayanan kesehatan tradisional Bali di fasilitas kesehatan tingkat 1 (Puskesmas) hingga tingkat lanjut (rumah sakit). Bahkan Koster memasukkan pelayanan kesehatan tradisional Bali dalam jaminan kesehatan Nasional Krama Bali Sejahtera (JKN-KBS).
Praktek pengobatan Tradisional Bali di Puskesmas dan Rumah Sakit, belum berjalan semulus yang direncanakan. Hal ini disebabkan oleh persyaratan SDM tenaga kesehatan tradisional yang harus memiliki Surat Tanda Register Tenaga KesehatanTradisional (STRTKT). Persyaratan pengusada Bali agar bisa mengajukan STRTKT harus lulus dari pendidikan vokasional D3 atau D4 Kesehatan Tradisional.
Sampai saat ini pendidikan D4 Kesehatan Tradisional hanya diselenggarakan oleh UNJ Yogyakarta dan Airlangga. Kedua D4 ini tidak menempatkan praktek Usada Bali sebagai unggulan lulusannya.
Koster tidak pernah menyerah dalam mengajegkan pelaksanaan pengobatan Tradisional Bali. Tim Kelompok Ahli yang mendampingi selama Koster memimpin tanpa henti berupaya membantu mewujudkan cita-cita luhur Pak Wayan Koster. Tim ini bersama UNHI menyusun kurikulum pendidikan D4 Kesehatan Tradisional dengan keunggulan Usada Bali. Perjuangan dan perjalanan tidak kenal lelah akhirnya atas ijin dan berkah Betara Lelangit ijin penyelenggaraan pendidikan D4 KesehatanTradisional dengan keunggulan Usada Bali diijinkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI bernomor 90/D/0/2024, tertanggal 19 Maret 2024, tentang Ijin Penyelenggaraan Pendidikan Vokasional D4 KesehatanTradisional di UNHI. Pendidikan D4 Kesehatan Tradisional UNHI akan meluluskan Tenaga Kesehatan Tradisional (Nakes Trad).
Lulusan D4 ini menurut UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, berhak mendapatkan STRTKT. Niat baik dari Gubernur Wayan Koster dalam mengajegkan pelayanan kesehatan tradisional Bali akhirnya mendapatkan restu dari Betara Lelangit, warisan beliau akan real dapat dinikmati dan memberikan kesejahteraan bagi generasi Bali. Warisan pengobatan usada tidak hanya terukir pada lontar, namun menjadi sumber ilmu kesehatan yang diterapkan dalam pelayanan kesehatan. Tenaga Kesehatan Tradisional (Nakestrad) adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan tradisional serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan tradisional yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan tradisional.
Peluang Kerja Lulusan D4 Kesehatan Tradisional UNHI
Tenaga kesehatan tradisional dapat bekerja di berbagai peluang, termasuk klinik, puskesmas, dan masyarakat. Peluang karier tenaga kesehatan tradisional di dunia pariwisata dapat menjadi pilihan menarik. Meskipun tidak selalu terlihat secara eksplisit, ada beberapa peran yang dapat diisi oleh tenaga kesehatan tradisional dalam industri pariwisata.
Berikut beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan: Health Tourism (Wisata Kesehatan): Di era saat ini, banyak orang mencari pengalaman kesehatan yang holistik saat berlibur. Indonesia memiliki potensi besar dalam health tourism, terutama dengan kekayaan budaya dan tradisi pengobatan tradisional. Tenaga kesehatan tradisional dapat berperan dalam menyediakan layanan kesehatan alternatif bagi wisatawan yang mencari pengalaman kesehatan yang berbeda.
Pengelolaan Kawasan Wisata: Tenaga kesehatan tradisional dapat berkontribusi dalam pengelolaan kawasan wisata. Mereka dapat memberikan edukasi kesehatan kepada wisatawan, mengenali potensi risiko kesehatan di area wisata, dan memberikan saran tentang pencegahan dan perawatan.
Pengobatan Alternatif: Beberapa wisatawan mungkin tertarik pada pengobatan alternatif selama perjalanan mereka. Tenaga kesehatan tradisional dapat berperan dalam menyediakan layanan seperti pijat tradisional, akupunktur, atau ramuan herbal.
Promosi Kesehatan: Tenaga kesehatan tradisional dapat berpartisipasi dalam kampanye promosi kesehatan di destinasi pariwisata. Mereka dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang kesehatan dan memberikan informasi tentang praktik kesehatan yang baik.
Konsultan Pariwisata: Tenaga kesehatan tradisional yang memiliki pengetahuan tentang budaya lokal dan pengobatan tradisional dapat bekerja sebagai konsultan pariwisata. Mereka dapat membantu mengintegrasikan aspek kesehatan tradisional ke dalam pengalaman wisata. Wellness Tourism merupakan tren yang semakin berkembang di dunia pariwisata. Tenaga kesehatan tradisional memiliki peran penting dalam industri ini.
Berikut adalah penjelasan mengenai peluang kerja dan usaha tenaga kesehatan tradisional di dunia Wellness Tourism: Pengembangan Produk Lokal: Pemerintah dan industri pariwisata semakin memperhatikan pengembangan produk lokal berbasis kearifan tradisional. Tenaga kesehatan tradisional dapat berkontribusi dengan mengembangkan herbal drink, aromaterapi, dan makanan sehat menggunakan bahan baku lokal. Ini tidak hanya mendukung perekonomian lokal, tetapi juga memperkaya pengalaman wisatawan.
Penggabungan Tradisional dan Modern: Tenaga kesehatan tradisional dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan modern. Misalnya, menggabungkan pengobatan herbal dengan teknologi digital untuk menciptakan pengalaman kesehatan yang holistik.
Konsultan Kesehatan: Tenaga kesehatan tradisional dapat bekerja sebagai konsultan kesehatan di destinasi wellness. Mereka dapat memberikan saran tentang penggunaan ramuan tradisional, praktik kesehatan, dan pencegahan penyakit.
Pengembangan Kawasan Khusus: Pemerintah telah mencanangkan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan di Sanur, Bali. KEK ini bertujuan untuk membangun fasilitas kesehatan berkualitas tinggi dan menciptakan lapangan kerja.
Inovasi Teknologi: Pemanfaatan teknologi digital dan inovasi dalam layanan kesehatan menjadi peluang bagi tenaga kesehatan tradisional. Penggunaan aplikasi, telemedicine, dan platform online dapat memperluas jangkauan layanan. Prediksi keberlanjutan tenaga kesehatan tradisional dalam 10 tahun mendatang adalah suatu hal yang menarik untuk dipertimbangkan.
Ada beberapa faktor yang dapat membantu kita memahami tren dan peluang di bidang ini: Peningkatan Kesadaran Kesehatan: Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan holistik dan alternatif. Tenaga kesehatan tradisional dapat memainkan peran penting dalam menyediakan layanan kesehatan yang berbasis pada pengobatan tradisional. Pengakuan Resmi: Beberapa negara mulai mengakui tenaga kesehatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan. Ini dapat membuka peluang kerja dan pengakuan lebih lanjut bagi praktisi tradisional. Wisata Kesehatan: Industri wisata kesehatan terus berkembang. Tenaga kesehatan tradisional dapat berperan dalam menyediakan layanan kesehatan alternatif bagi wisatawan yang mencari pengalaman kesehatan yang berbeda. Penggabungan Tradisional dan Modern: Penggabungan pengetahuan tradisional dengan teknologi modern dapat menciptakan peluang baru. Misalnya, penggunaan telemedicine atau aplikasi kesehatan berbasis teknologi.
Pendidikan dan Pelatihan: Investasi dalam pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tradisional dapat meningkatkan kualitas layanan dan membuka peluang kerja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan tingginya kebutuhan dan peluang kerja sebagai Tenaga Kesehatan Tradisional dengan STRTKT, seperti kebutuhan pelayanan pengobatan Kesehatan Tradisional di Puskesmas, Rumah Sakit dari type D sampai A.
UU Kesehatan No 17 Tahun 2023, bertujuan peningkatan pelayanan kesehatan pada Preventif dan Promotif, hal ini akan menuntut peningkatan kebutuhan Nakestrad, dimana pada awal 2023 hanya tercatat 447 orang. Tingginya kebutuhan dunia wisata kebugaran, menjadi kebutuhan khusus Nakestrad. Pendidikan vokasional D4 Kesehatan Tradisional UNHI memberikan kompetensi kearifan lokal, Kesehatan Tadisional Bali, mengacu pada Peraturan Gubernur Bali No. 55 Tahun 2019. Keahlian khusus yang diberikan pada pendidikan D4 Kesehatan Tradisional UNHI menjadi pembeda dan keunggulan lulusan D4 KesehatanTradisional UNHI
Adapun Profil Lulusan D4 Kesehatan Tradisional UNHI adalah:
- Tenaga Kesehatan Tradisional, dengan: ketrampilan, managemen layanan dan edukator bidang Usada Bali. Tenaga Kesehatan Tradisional mampu memberikan pelayanan pengobatan tradisional Indonesia dengan keunggulan kearifan lokal Bali (Usada Bali).
- Cummunity Leader bidang wisata kebugaran dan herbal terapi berbasis kearipan Usada Bali. Lulusan yang mampu menjadi community leader pada bidang wisata kebugaran Bali (Balinese wellness) di dunia industri pariwisata berbasis kearipan Usada Bali.
- Manajemen Pelayanan Usada yaitu Manajemen Pelayanan Usada mampu membuat perencanaan dan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan dan pengembangan pelayanan Pengobatan Tradisional Indonesia.
- Edukator yaitu Lulusan yang mampu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pengobatan tradisional Indonesia, khususnya pengobatan Usada Bali.
Akhirnya kami mengucapkan selamat kepada Gubernur Bali periode 2018 sd 2023 Bapak Wayan Koster atas kebijakannya dan kami mengajak adik-adik lulusan SMA atau Semeton Gotra Pengusada Bali untuk bergabung dengan D4 Kesehatan Tradisional UNHI.
Penulis: Prof. apt.Dr.rer.nat., Drs. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si.
OPINI
Mangkir dari Utang, Debitur Berpotensi Dipidana
“…tentu masuk kualifikasi wanprestasi dan harus diselesaikan secara keperdataan… dalam kondisi tertentu, yang bersangkutan (debitur) juga berpotensi dilaporkan secara pidana… sepanjang ada bukti yang cukup….” (Adv. I Nyoman Agus Trisnadiasa, S.H., M.H.)
Published
11 bulan agoon
3 Januari 2024Denpasar, baliilu.com – Hubungan hukum antara kreditur dan debitur dalam konteks perjanjian kredit murni bersifat keperdataan. Jika di dalam pelaksanaannya, terbukti bahwa debitur melalaikan kewajibannya, maka yang bersangkutan dapat dituntut untuk segera menuntaskan segenap utang, bunga, dan denda kredit. Apabila kemudian terbukti ada tipu muslihat yang dilakukan sejak awal oleh pihak debitur, sehingga mengakibatkan kreditur bersedia memfasilitasi pemberian kredit, maka ada potensi bagi kreditur untuk melaporkan si debitur atas dugaan tindakan penipuan.
Perjanjian kredit merupakan istilah yang lazim digunakan dalam praktik perbankan. Sederhananya, perjanjian kredit merupakan dokumen tertulis yang mendeskripsikan tentang hak dan kewajiban antara debitur (berutang) dan kreditur (bank sebagai pemberi utang), termasuk mengatur ihkwal obyek agunan dan teknis penyelesaian kredit bahkan penyelesaian sengketa, bila dikemudian hari salah satu pihak melanggar isi perjanjian. Utamanya soal isu “melanggar isi perjanjian”, biasanya tindakan sebagaimana dimaksud dapat berupa tiga hal, yaitu: tidak memenuhi prestasi (kewajiban), terlambat memenuhi prestasi (kewajiban), dan/atau tidak sempurna memenuhi prestasi (kewajiban). Ketiga hal tersebut yang selanjutnya dikenal dengan istilah “wanprestasi” dalam keilmuan hukum.
Di dalam praktik perbankan, banyak ditemui adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur. Guna menyikapi tindakan tersebut, maka bank umumnya akan menempuh mekanisme penyelesaian secara keperdataan sebagaimana tertuang di dalam perjanjian kredit yang telah disepakti oleh para pihak (kreditur, debitur). Hal ini turut dibenarkan oleh Adv. I Nyoman Agus Trisnadiasa, S.H., M.H. “Mangkir dari utang sudah barang tentu masuk kualifikasi wanprestasi dan harus diselesaikan secara keperdataan,” ujar Trisnadiasa. Namun pola penyelesaiannya tidak boleh langsung dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan (litigasi), sehubungan ada mekanisme non-litigasi yang patut dikedepankan, yang sifatnya lebih menguntungkan para pihak, misalnya restrukturisasi utang (kredit). “Bisa saja dengan pola restrukturisasi utang (kredit) misalnya, meskipun restrukturisasi itu sejatinya bukan hal wajib yang harus diberikan oleh kreditur kepada debitur,” imbuh advokat yang berkantor di Kantor Gopta Law Firm ini.
Apabila upaya non-litigasi tidak kunjung membuat debitur patuh untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pihak berutang, maka kreditur berhak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri setempat dengan bersandar pada beberapa ketentuan Pasal, diantaranya: Pasal 1234 KUH Perdata, Pasal 1238 KUH Perdata, Pasal 1239 KUH Perdata. Adapun mengacu pada ketentuan 1131 KUH Perdata, maka gugatan sebagaimana dimaksud tentu akan membawa dampak terhadap harta benda milik debitur baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata, kreditur juga diposisikan sebagai pihak yang memiliki hak istimewa terhadap harta benda yang dijadikan agunan kredit oleh debitur, misalnya agunan berupa tanah yang telah dibebankan hak tanggungan dan/atau agunan berupa kendaraan bermotor yang telah dibebani fidusia.
Adakalanya bank selaku kreditur justru melaporkan debiturnya yang wanprestasi dalam ranah pidana. Peristiwa ini bukan berarti keliru, sepanjang bank memiliki bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa debitur memang terbukti melakukan serangkaian tindakan tipu muslihat yang bertujuan memperdaya bank untuk mau menggelontorkan kredit kepada yang bersangkutan. Sebagai penegasan, bank wajib berhati-hati jika sampai pada opsi melaporkan debitur dalam ranah pidana.
“Namun demikian tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan, dalam kondisi tertentu, yang bersangkutan (debitur) juga berpotensi dapat dilaporkan secara pidana. Bisa saja bank melaporkan debiturnya dengan sangkaan Pasal 378 KUHP (penipuan), sepanjang ada bukti yang cukup bahwa perjanjian dibuat dengan didasari itikad buruk/niat jahat, seperti memakai nama palsu, mertabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang dapat merugikan orang lain. Jadi semua pihak harus berhati-hati”, tegas Trisnadiasa, Advokat yang sering bertindak sebagai kuasa hukum Tim Likuidasi BPR di Bali.
Trisnadiasa juga menambahkan bahwa ada juga oknum yang berusaha untuk memperkaya diri atau dengan sengaja mencari penghidupan dengan cara membuka utang ke beberapa kreditur dan kemudian yang bersangkutan sengaja melalaikan kewajibannya serta tidak akan membayar lunas utang tersebut. Dalam kondisi demikian, si pemberi utang tentu dapat dipandang sebagai korban. Jika terdapat bukti yang mendukung bahwa debitur melakukan tindakan sebagaimana dimaksud sebagai modus, maka yang bersangkutan dapat diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 379 a KUHP.
Sebagai penutup, Trisnadiasa menyatakan bahwa prinsip penting yang harus dipahami dalam hubungan utang-piutang sangatlah sederhana, yakni pihak yang berutang (debitur) wajib melunasi utang kepada pemberi utang (kreditur). Jika masih tercatat bahwa utang (kredit) itu belum lunas, maka debitur harus melaksanakan kewajibannya sampai dengan utang (kredit) tersebut benar-benar lunas, apabila utang dibiarkan atau bahkan ditelantarkan oleh debitur, maka konsekuensi hukumnya, seluruh aset debitur akan menjadi tanggungan dari utang tersebut dan bank sewaktu-waktu dapat menggugat, menyita dan melelang aset milik debitur tersebut, karena itu sudah merupakan hukumnya. Prinsip ini hendaknya dipegang teguh bagi semua pihak yang memiliki rencana untuk mengajukan permohonan kredit kepada bank. (*/bi)