SENI
Sang Pencipta Tari Cak I Wayan Limbak, Hidup Sepanjang Hayat
BALIILU Tayang
5 tahun yang lalu:

Brosur-brosur kepariwisataan mencitrakan: Bali begitu identik dengan tari Cak. Tapi amat sedikit yang paham, Cak lahir dari lelaki kukuh bernama I Wayan Limbak dari Desa Bedulu Gianyar.
SUATU senja April 2003 di bawah naungan pohon leci rindang, angkul-angkul pekarangan rumah itu tertutup rapat. Penulis datang mengetuk-ngetuk daun pintu kayu beberapa kali. Pada ketukan terakhir, bukan sapaan orang menyahut melainkan gonggongan anjing menyalak. Baru kemudian ada anak muda terburu-buru membukakan pintu, menyilakan kami masuk.
Toh kami tak serta merta merasa tenang. Enam anjing merubung kaki kami, meskipun tiada satu pun yang menggigit. Dari jarak dekat mereka menyalak kencang, lalu perlahan mengendur. Inilah ‘’upacara sapaan’’ barangkali bagi tetamu asing yang hendak berkunjung ke rumah dengan seluruh bangunan bergaya Bali itu. Setelah kami berdiri di natah (halaman) rumah, anjing-anjing itu sontak jinak, melengos manja. Ekornya kutal-kutil memberi isyarat bersahabat. Lamat-lamat lagu ‘si unyil’ dilantunkan burung Koak Kaok, Lombok dari sangkarnya di depan bale delod (selatan).
Gaya bangunan itu terlihat kukuh mempertahankan tradisi Bali. Sanggah-sanggah kuna berukir, ada bale daje di sisi utara, bale gede (tiang 12) di sisi timur, bale dauh di sisi barat dan rumah tinggal di sisi selatan, dapur berada di sisi tenggara berjejer dengan rumah tinggal di sisi selatan.
Seorang kakek hanya berselempang handuk, tanpa baju, duduk di kursi di samping pintu dapur, kakek itu tidak menghiraukan gonggongan anjing-anjing ras peking dan Kintamani tadi. Tangannya sibuk menggaruk-garuk sekujur tubuhnya. Dari kepala, tangan, dada, punggung, sampai ke kaki. Lelaki renta itulah I Wayan Limbak, pencipta tari Cak asal Banjar Marga Bingung Desa Bedulu Blahbatuh Gianyar. ‘’Kak anggo bajune, ada tamu!’’ tegur menantunya dengan suara meninggi, menyuruh mertuanya memakai baju.

Kakek itu tergagap. Matanya awas melihat kami. Sontak ia berdiri, tergopoh-gopoh menuju bale dauh, kamar yang digunakan untuk tidur. Di bale dauh bertiang paras berukir itulah Krisman, arkeolog purbakala Belanda, penemu situs Goa Gajah nun sebelum menjadi objek wisata tenar, sehari-hari tidur.
Beberapa menit kakek yang sudah berkelab (anak dari cicit) keluar menggunakan sarung, baju dan kaca mata hitam. Menantunya bilang, kakek kini doyan berdandan, memang. ‘’Tiang kapok naar be celeng,’’ ungkap I Wayan Limbak kepada kami yang telah menunggu di bale daja. Katanya, dia kini merasa kapok menyantap daging babi, karena membikin sekujur tubuhnya gatal-gatal. Mungkin ia alergi. Sudah beberapa kali diobati dokter kulit, tetap saja tidak kunjung sembuh.
Tak terasa sudah 17 tahun berlalu penulis berbincang lama dengan I Wayan Limbak, sebelum akhirnya berpulang lima bulan kemudian. Dan, siang umanis Galungan 20 Februari 2020, penulis kembali berkunjung ke rumah sang pencipta tari Cak yang kini tarian teatrikal itu banyak dipentaskan sebagai tontonan para turis. Di antara stage besar di Bali yang menampung ratusan bahkan ribuan penonton saban hari adalah Cak Uluwatu, Tanah Lot, Garuda Wisnu Kencana, Sahadewa Stage Batubulan, Pura Taman Saraswati Ubud dan masih banyak lagi termasuk khusus pementasan di hotel. Memang, tari Cak kini menjadi paket wisata yang paling digandrungi wisatawan. Terasa belum lengkap jika berkunjung ke Bali tanpa merasakan sensasi atraksi tari Cak sambil menikmati sunset (matahari terbenam).
Pohon leci masih kokoh berdiri di samping angkul-angkul. Cuma pintu yang sudah terbuka penuh diberi rangka besi setengah badan, ada lonceng mini yang digantung di bawah. Manakala penulis mencoba mendorong pintu besi itu, suara dentingan lonceng berbunyi nyaring. Anjing-anjing mini kembali menyalak berbarengan pertanda sapaan. Sebentar kemudian wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh menyilakan kami masuk sambil menanyakan tujuan datang.
Siang itu, penulis datang memang bukan ingin bertemu I Wayan Limbak yang sempat kami wawancarai pertengahan April 2003. Karena kami tahu, I Wayan Limbak telah berpulang pada 3 November 2003, 5 bulan setelah kami sempat berbincang seputar kelahiran tari Cak hingga ngelimbak (terkenal) sampai seantero dunia. Tetapi, ingin bertemu dengan salah seorang putranya I Wayan Patra meminta izin untuk kembali memutar ulang tulisan I Wayan Limbak yang pernah dimuat di majalah Sarad edisi 37 April 2003 untuk diunggah di sebuah media online baliilu.com. ‘’Silakan saja pak, tidak apa-apa!,’’ ujar I Wayan Patra menyilakan sambil berbincang di bale delod yang kemudian mencetuskan keinginannya membuat yayasan I Wayan Limbak yang bergerak di bidang pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali. Tentu pembentukan yayasan ini tak lepas dari semangat almarhum yang selama hidupnya mendedikasikan diri mengabdi di bidang seni.
Kembali mengenang Limbak yang kala itu sudah berusia hampir seabad, 96 tahun, Limbak memang tidak lagi seperti tampak di setiap foto-fotonya yang dipajang di berbagai museum di Bali maupun di luar negeri. Cuma di buku-buku yang bercerita tentang tari Cak zaman lampau, pada masa-masa awal Cak, Limbak kerap memerankan tokoh kokoh perkasa Kumbakarna, adik maharaja raksasa Rahwana. Tubuhnya tegap, kukuh, bola batanya bulat berbinar. Rambutnya keriting memanjang. Lengan-lengannya kukuh layaknya batang-batang pohon leci di depan rumahnya.

Tak heran bila Limbak menjadi idola zamannya, untuk peran-peran perkasa. Selain Kumbakarna, ia juga kerap memerankan tokoh sakti Subali, maupun penari jauk dan baris. Setiap pentas, sakaa (kelompk) Cak Bedulu yang dibentuknya pun memukau. Dan, di sana Limbak adalah pusat perhatian, medan magnet, penyedot rasa kagum penonton. Mereka puas bila dapat menyaksikan kibasan tangan, sabetan kaki, dan sorot mata cemerlang Limbak. Orang-orang pun mempersamakan sekaa Cak Bedulu dengan sekaa Cak Limbak.
Di layar potret dan kenangan ingatan, Limbak ketika ditemui penulis, hanyalah sesosok kakek renta. Pendengarannya tidak lagi bernas, kulitnya keriput. Matanya yang dulu berbinar kini menyipit. Ia tidak lagi awas melihat benda jauh, sehingga kerap mengenakan kaca mata hitam, agar tidak silau. Yang tersisa pada pemilik belasan cicit kelahiran 1907 ini adalah, semangat hidupnya yang energik, tiada putus berdenyut, meskipun usianya hampir genap seabad.
Di usia hampir seabad Limbak masih kuat dan teguh, menyapu halaman rumah. Saban pagi ia ngayah nyapuh di Pura Samuan Tiga. Bila diminta menari, ia masih tangkas menarikan polah Kumbakarna dengan nengkleng, ngulap-ulap, dan ngecak. Daya ingatnya pun masih bernas. Pun, ketika kami bertanya perihal kisah kelahiran tari Cak, ia sanggup bertutur berjam-jam tiada jeda. Tangannya berkelebat-kelebat mengikuti penggambaran ingatannya, episode demi episode, dengan data akurat.
Tari Cak dalam kesaksian Limbak terlahir dari inspirasi tari Shang Hyang Jaran. Di Bedulu, ketika itu, ada tradisi: Jika ada orang sakit maka pihak keluarga nguntap (menanggap) tari Shang Hyang Jaran. Selain sebagai pengusir roh jahat, tarian yang disakralkan masyarakat Bedulu itu juga dipentaskan di Pura Goa Gajah saat piodalan.

Walter Spies, seniman asal Jerman menetap di Ubud yang menonton tari Shang Hyang Jaran itu, lantas tertarik menciptakan tarian yang bisa disuguhkan untuk para pelancong. Keinginan Walter Spies tersebut dilontarkan kepada I Wayan Limbak. Dari tari Shang Hyang Jaran itulah, tahun 1930 Limbak lantas melahirkan tarian yang kelak diberi nama tari Cak.
Nyanyiannya, diambil dari ritme tari Shang Hyang Jaran, sedangkan komposisi diciptakan baru bersama Walter Spies, juga suara cak cak cak itu. Nama Cak itu, memang diangkat dari suara cak cak cak yang bersahutan, berinterkoneksi, silih berganti.
Hanya beranggotakan 40 orang yang diambil dari warga Bedulu, sekaa Cak pun berdiri. Semula mereka pentas, di depan tetamu Jerman yang khusus diundang Walter Spies pentas selama 45 menit. Mereka kerap menukil kisah-kisah epos Ramayana, yang memang tenar di Bali.
Tari Cak ciptaan Limbak pun bersambut dengan cita rasa tetamu Jerman. Meskipun digarap bersahaja. Tata rias muka dan busananya serba sederhana. Mereka hanya mabulet ginting, kain dililitkan sebatas untuk menutupi kemaluan. Terang saja pantat penari menyembul benderang. Rambut dibiarkan tergerai.

Kesahajaan itulah yang justru memikat, memancarkan karakter kuat, hingga menebarkan aura pesona. Saat Limbak ngagem Kumbakarna, misalnya, empat butir kelapa digantungkan di lengannya untuk mencitrakan kekukuhan. Penonton seakan diajak mengingat adegan Kumbakarna yang dikeroyok di medan laga oleh pasukan kera pimpinan Sugriwa dari Gunung Kiskenda. Kokoh, kuat, dan pantang menyerah.
Gambaran sosok Limbak sebagai tokoh Kumbakarna dalam tarian Cak tempo dulu ini banyak tersimpan di museum-museum ternama, seperti di museum Suteja Neka, serta di museum negeri Belanda dalam bentuk-bentuk berukuran besar.
Limbak memang sosok seniman terbuka. Ia tidak segan menimba ilmu kepada orang lain, tidak pula jerih ditiru seniman lain. Dasar-dasar tari ia banyak reguk dari I Gusti Ngurah Regug, penari jauk asal Tegal Tamu, dan I Made Jagung, penari Gambuh asal Denjalan, Batubulan. Namun, ia tetap giat menciptakan perbendaharaan gaya tari Cak yang sebelumnya gerakannya sederhana, terus diperbaharui dengan gaya telungkup, menaikkan tangan, atau tidur. Limbak juga mengajak I Gusti Kompyang Gelas, penari Cak asal Bona Gianyar untuk bergabung di sekaa-nya.
Dari orang inilah, kemudian di Bona tari Cak berbiak dan meretas ke berbagai wilayah di Bali sampai ke luar negeri. Limbak juga mendorong kemunculan sekaa Cak di Bedulu Delod Pempatan, sehingga di Desa Bedulu ada dua sekaa Cak: Sekaa Delod Pempatan dan Dajan Pempatan. Kedua sekaa ini bahkan sempat adu kepiawaian saat pasar malam di alun-alun Gianyar. ‘’Tiang bahagia, tari Cak bisa berkembang menjadi duen jagat, milik masyarakat,’’ tutur Limbak, polos.
Keterbukaan Limbak kepada siapa saja terlihat dari banyaknya tamu yang datang ke rumahnya. Termasuk para tamu asing yang bermaksud belajar budaya Bali, terkhusus tari Cak. Tidak terhitung jumlah orang yang berkunjung. Mereka datang dari Jerman, Cekoslovakia, Belanda, Jepang. Ada juga mahasiswa Narova University, Amerika Serikat, yang kerap meneliti tari Cak di rumah Limbak.
Ia pun dengan lapang memberikan informasi berjam-jam tanpa keluh lelah, sebaliknya ia justru merasa puas secara bathin. Dengan bertutur kata ia merasa gelora kesenimanannya tidak beku tersumbat, melainkan terus mengalir deras lewat orang-orang yang datang menimba ilmu padanya.
‘’Jika hanya berpentas untuk para tamu, kelak tari Cak hanya akan dikenal turis-turis asing,’’ pikir Limbak terhadap tari Cak-nya semula hanya pentas di depan tamu asing. Karena itu, untuk memperkenalkan tari Cak kepada masyarakat luas di Bali, Limbak bersama sekaa Cak Bedulu ngelawang ke pelosok-pelosok desa. Selain menambah penghasilan sekaa, pentas itu sekaligus memperkenalkan tari Cak kepada masyarakat luas di Bali. Ini tentu pengorbanan tiada ternilai, karena anggota sekaa harus berjalan kaki ke seantero Bali, meninggalkan keluarga, berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan.
‘’Tiang sempat menerima undangan tuan Branch, subandar pelabuhan Buleleng. Setelah pentas di depan para tamu di pelabuhan, kami kemudian ngelawang ke daerah-daerah di Buleleng,’’ kenang Limbak, satu-satunya penari sekaa Cak Bedulu generasi pertama yang masih hidup tahun 2003.
Kegigihan Limbak memperkenalkan tari Cak, mendapat sambutan hangat masyarakat. Sampai-sampai terdengar ke telinga Presiden Soekarno yang doyan tari Bali. Sekaa Cak Limbak pun kerap pentas di Istana Tampak Siring, di hadapan Presiden Soekarno.
Suatu ketika, sekaa Cak pentas di pura. Mereka menari menggunakan pakaian ada ke pura. Dari sinilah kemudian busana tari Cak tidak lagi mabulet ginting. Mereka mulai menggunakan saput dan kamben (kain). ‘’Tapi para tamu asing lebih menyukai mabulet ginting,’’ papar Limbak.
Ketenaran sebagai penari cak menjadikan kakek bercucu 21 ini didaulat sebagai perbekel Desa Bedulu oleh raja Gianyar. Kemampuan melobi dan hubungan bagus dengan tetamu manca negara, lebih-lebih lagi dengan Walter Spies, menjadikan banyak aliran sumbangan mengarus ke Desa Bedulu termasuk ke kantongnya sendiri. Dana itu lantas digunakan untuk membangun Pura Samuan Tiga dan Pura Pengastulan. ‘’Wenten jinah tumbasang paras, anggen ngewangun pura,’’ ujar kakek beristri tiga ini.
Gaya kepemimpinan Limbak memang lain. Dia tidak saja mengorbankan materinya, yang sepatutnya dia terima, juga memberikan cuma-cuma rumahnya untuk kantor kepurbakalaan dan tempat tinggal Krisman, bertahun-tahun. Kemurahan Limbak tersebut membuahkan penemuan berbagai benda purbakala di Bedulu. Salah satunya Pura Goa Gajah yang kini banyak dikunjungi wisatawan, sebagai sumber pendapatan warga Bedulu.
Keterbukaan Limbak sebagai pemimpin di desa tidak saja disukai masyarakat juga para pejabat. Rumahnya yang terbuka bagi para tetamu itu pun disinggahi orang-orang terkenal semisal Raja Gianyar AA Gde Agung dan pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai, juga arkeolog Prof. Dr. Soekmono. ‘’Saya sering berbincang-bincang tentang Bali dengan mereka di sini,’’ kenang Limbak yang membiarkan bangunan bale dauh-nya tetap kuno hingga kini. Dengan gaya ceplas-ceplosnya, Presiden Soekarno pun doyan ngobrol berlama-lama dengannya. Kerap pula ia diajak makan semeja. Keakraban itu mengantarkan Limbak suatu kali lolos nyelonong masuk ke ruangan presiden di Tampak Siring. Saat itulah ia melihat sang Presiden RI pertama itu tanpa topi. ‘’Wah, saya tidak menyangka yang tidak memakai topi itu Pak Karno, tampangnya lain sekali bila tidak memakai topi,’’ kenang Limbak.
Kesibukan sebagai perbekel, tidak mengurangi jadwal pentasnya ke desa-desa lain, memang, namun dia tak lagi bisa mengajar menari orang lain secara khusus. Dia seakan kehabisan kesempatan buat menularkan kemampuannya. Namun ia tak menampik ketika orang lain meniru watak maupun gaya tariannya. Andaikan Limbak orang barat yang fanatik dengan hak cipta, tentulah dia sudah kaya raya, karena kebanjiran royalti. Kini tari Cak ciptaannya telah dikenal luas, menjadi maskot industri kepariwisataan Bali. Saban kali dipentaskan, dipotrek jadi kartu pos dijadikan sampul kaset, vcd, latar iklan, dll.
Tapi, Limbak tidak pernah minta hak royalti. Dia sama sekali tidak bermaksud kikir terhadap ilmu yang dimilikinya. Ketika tidak sedikit yang berhasil meniru gayanya, Limbak pun tidak keberatan. Sebut saja, tari Cak yang kini berkembang pesat di Bona, yang mengalir ke daerah-daerah pariwisata, seperti Nusa Dua, Kuta, Ubud, Batubulan. Tarian ini juga banyak mengilhami koreografer maupun pencipta lagu seperti Guruh Soekarno Putra lewat lagu ‘’Kembalikan Baliku Padaku’’ yang kental nuansa caknya. Padahal di Bedulu tempat kelahirannya, tari Cak nyaris punah. Artinya sekaa tersebut sekarang sudah tidak lagi aktif, walaupun benih-benihnya masih ada.
‘’Walaupun ditiru-tiru, saya tidak apa-apa. Yang penting tarian itu tetap hidup dan tetap disukai masyarakat luas,’’ papar peraih penghargaan pencipta tari Cak dari Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya Republik Indonesia 1996, ini.
Yang membuat dia kerap merasa sedih, justru pementasan tari di hotel-hotel yang berdampak buruk terhadap sekaa-sekaa sebunan yang berbasis di desa. Dalam ingatan dia, tahun 1960-an turislah yang datang ke desa dan menikmati tari-tarian di desa. Para tamu itu, di samping menikmati tarian juga bisa melihat perajin di desa bersangkutan. Sebaliknya kini, senimanlah datang ke hotel menjajakan tarian. ‘’Ini jelas membunuh sekaa sebunan,’’ ujar Limbak.
Sekaa Cak Bedulu, contohnya. Dulu mereka sempat pentas rutin di tiga tempat di seputar Bedulu: di Goa Gajah, Pura Samuan Tiga, dan Mandala Wisata Samuan Tiga. Kini mereka praktis menganggur, karena wisatawan tidak mau lagi datang ke desa. Sekaa Cak dan Legong Ganda Manik Bedulu ini sempat pentas di hotel namun buru-buru tidak dilanjutkan karena upah tidak sesuai dengan pengorbanan kreativitas yang mereka berikan. Kini mereka beralih menjadi perajin ukir.
‘’Meskipun sekaa bubar, namun jika suatu ketika pentas, mereka cukup latihan beberapa kali, pasti jadi,’’ jamin Limbak yang sejak 1967 mengundurkan diri menjadi perbekel, lalu mengabdi sebagai ketua panitia Pura Samuan Tiga hingga tahun 1992. ‘’Tiang merasa ditakdirkan mengabdi di desa ini sampai akhir hayat,’’ ujar bapak empat putra ini.

Meski usia Limbak mendekati 1 abad, toh semangat Kumbakarna membela negeri kelahirannya hingga akhir hayat tiada putus berdenyut di jiwanya. Raganya yang kian rapuh tiada dihiraukan benar. Saban pagi ia setia kukuh bergegas menuju Pura Samuan Tiga, 500 meter dari rumahnya. Di tempat suci yang disebut-sebut sebagai lokasi pendeta visioner asal tanah Jawa Mpu Kuturan mempersatukan sekta-sekte di Bali abad ke-11 itu, Limbak penuh bakti menunaikan tugasnya: menyapu kotoran, ranting-ranting, dan dedaunan yang jatuh ke natar pura nan luas. ‘’Bahkan 10 hari sebelum Bapak meninggal masih sempat berjalan sendiri nyayah nyapuh ke pura,’’ ujar I Wayan Patra, suatu siang setelah 17 tahun berlalu.
Di pura tersebut ia serahkan seluruh jiwa dan raganya. Lewat sapu lidi, Limbak saban hari bermeditasi menghilangkan sifat-sifat rajas dan tamas yang melekat di tubuhnya. Usai ngayah nyapuh terkadang ia tertidur pulas di bale-bale pura, begitu lepas merdeka, tiada beban. ‘’Tiang merasa segar setelah ngayah iriki,’’ ujarnya polos.

Di lain waktu, jika ada tamu-tamu yang datang menjenguk baik di pura saat pagi hari maupun di rumahnya, ia dengan riang meluangkan waktu berjam-jam memaparkan sejarah tari Cak disertai gerakan-gerakannya yang kuat, kukuh, penuh daya pukau. Ia tidak tampak begitu tua. Namun setelah orang-orang pergi meninggalkannya, ia kembali dalam kesendirian, pun ketika menghadap Hyang Maha Kuasa. Namanya kian sayup seperti irama suara cak-cak cak penari Cak yang kian menjauh. (Gede Sumida)


Berita Terkait
SENI
Penuh Percaya Diri, Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala Tampil ‘’Mebarung’’ di PKB 2025
Published
1 hari agoon
8 Juli 2025
Denpasar, baliilu.com – Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala, Desa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan didapuk menjadi Duta Kabupaten Badung pada Utsawa (Parade) Gong Kebyar Wanita serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-47 Tahun 2025. Melangkah penuh percaya diri, para yowana dari sisi kelod Gumi Keris (Badung Selatan, red) itu mebarung (beradu) dengan duta Kabupaten Gianyar di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Senin (7/7) malam.
Para yowana Ungasan berjalan anggun di atas panggung dengan balutan busana bernuansa biru dan silver. Sementara di sisi tribun panggung riuh oleh tepuk tangan dan teriakan penonton. Penampilan Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala ini disaksikan langsung oleh Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa, Gubernur Bali I Wayan Koster, Bendesa Adat Ungasan I Wayan Disel Astawa, OPD Pemkab Badung, dan ribuan penonton yang memadati tribun panggung terbuka Ardha Candra.
Kala itu, Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala Desa Adat Ungasan tampil maksimal didukung langit malam yang cerah. Ada tiga materi yang ditampilkan, hasil dari penggalian kreativitas seni karawitan, gerak tari, dan olah vokal. Pertama, Tabuh Telu berjudul “Yogi Suara” yang terinspiriasi dari kondisi Bali saat ini, yang mengalami paradoks-paradoks ekstrim dan menggerogoti tata pesona nyaman Bali. Kondisi ini menyebabkan kekacauan, kegaduhan, risau, dan resah.
“Tabuh kreasi Yogi Suara ini penggarap terinspirasi dari perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di Bali saat ini. Melalui karya Yogi Suara ini, kita diajak meyasa kerthi (berupaya) mempertahankan kelangsungan hidup ini, agar Bali bisa ajeg dari hal-hal negatif,” ungkap Koordinator Gong Kebyar Wanita Badung sekaligus Prajuru Desa Adat Ungasan, I Made Suada S.Ag M.Si.
Sedangkan garapan kedua menampilkan tari kreasi berjudul “Tedung Jagat” yang merupakan kiasan kata untuk seorang pemimpin yang memiliki kebijaksanaan dan kewajiban memberikan kenyaman kepada rakyatnya. Sebagai informasi, tari kreasi ini diciptakan pada ajang PKB ke-40 tahun 2018. “Tedung Jagat ini bagaimana pemimpin bisa mengayomi seluruh masyarakat yang tercermin dalam konsep Asta Brata,” terang Suada.
Sebagai pamungkas, Sekaa Gong Kebyar Wanita Karang Asti Komala menyajikan Sandyagita dengan judul “Jagat Hita yang menyiratkan kesadaran dalam pencapaian Moksartam Jagadhita, konsepsi holistik dunia sekala niskala. Dengan konsep garap paduan suara Bali mengedepankan harmoni dan accord dengan ornamentasi tembang Bali, mengajak kita menjaga keharmonisan diantara sesama sebagai wujud saling hormat-menghormati dalam interaksi kemasyarakatan mengedepankan toleransi.
Suada melanjutkan, untuk tampil di PKB ke-47, Sekaa Gong Kebyar Wanita Karang Asti Komala mendapat kepercayaan dari Pemkab Badung dan disambut dengan dukungan penuh dari Desa Adat Ungasan. Kali ini, melibatkan puluhan seniman yang berasal dari 15 banjar se-Desa Adat Ungasan. “Kelian banjar adat kami sebagai ujung tombak sudah menggerakkan anak-anak muda dari 15 banjar yang ada di Desa Ungasan. Tentunya masing-masing banjar sudah ada perwakilan, kita gabungkan menjadi satu sekaa gong kebyar,” jelasnya.
Suada optimis, anak-anak muda Ungasan bisa tampil maksimal. Mengenai keberadaan Sekaa Gong Kebyar Wanita Karang Asti Komala, kata Suada, merupakan binaan Desa Adat Ungasan yang berproses sejak tahun 2000-an. Dalam perjalanannya, sekaa gong kebyar wanita ini terus berproses dan regenerasi. “Penampilan pada hari ini merupakan penampilan kedua kalinya kami mewakili Pemkab Badung. Dan sebagai regenerasi, hari ini kita akan melihat potensi anak-anak muda,” ucapnya.
Sementara itu Bendesa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa menyambut dan memberikan apresiasi kepada Pemkab Badung yang telah memberikan kepercayaan kepada Ungasan sebagai duta Kabupaten Badung pada materi gong kebyar wanita. Menurutnya, hal ini sejalan dengan tujuan Desa Adat Ungasan dalam memberikan dukungan serta kesempatan pada perempuan untuk maju dan meningkatkan peran aktifnya dalam pelestarian warisan budaya.
“Kami ingin membangkitkan dan memberikan motivasi serta semangat agar perempuan ikut peran serta di setiap kegiatan dan di setiap momen, baik itu kegiatan budaya kegiatan keagamaan selalu mereka tampil dalam rangka pelaksanaan pelestarian adat budaya. Sehingga kapan pun ditunjuk, kita punya bibit yang sudah siap,” ucap Disel Astawa. (gs/bi)


SENI
Disambut Antusias, Sanggar Seni Cakup Kaler Duta Badung Dalam Pagelaran Semara Pegulingan PKB 2025
Published
1 hari agoon
8 Juli 2025
Denpasar, baliilu.com – Sanggar Seni Cakup Kaler, Banjar Semanik, Desa Pelaga, Kecamatan Petang mewakili Kabupaten Badung dalam Rekasadana (Pagelaran) Semara Pegulingan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 tahun 2025. Para seniman yang tampil di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Senin (7/7) ini disambut antusias para penonton.
Ketua Sanggar Cakup Kaler, I Gede Adi Mahendra menyatakan, Sanggar Seni Cakup Kaler meupakan wadah berkumpulnya para pelaku seni muda. “Seniman-seniman yang tergabung yang tampil dalam pagelaran ini semuanya berasal dari Petang,” ungkapnya.
Adi Mahendra mengungkapkan, persiapan yang dilakukan untuk bisa tampil dalam PKB ke-47 kurang lebih selama empat bulan. Ia pun berharap, proses yang telah dilewati selama empat bulan ini bisa ditampilkam secara maksimal. “Kami harap para penari dan penabuh bisa tampil maksimal dan bisa menjadi kebanggaan Kabupaten Badung,” ujarnya.
Filosofi yang ingin disampaikan dalam pementasan ini adalah keharmonisan alam semesta beserta isinya di era sekarang. “Bagaimana agar alam semesta dan isinya berjalan harmonis sesuai tema PKB tahun ini yakni Jagat Kerthi,” tuturnya.
Sanggar Seni Cakup Kaler membawakan tiga materi yang terdiri dari Tabuh Klasik Sekar Emas, Legong Kreasi Bhima Sakti dan Tabuh Kreasi Mangu Puja.
Tabuh Sekar Emas merupakan sebuah tabuh klasik Semara Pegulingan yang lahir pada era tahun 1930/1940-an yang diciptakan oleh maestro seniman tabuh I Wayan Lotring. “Tabuh ini sebetulnya terinspirasi dari mekarnya bunga yang berkilauan bagaikan emas yang kemudian dituangkan dalam sebuah garapan seni tabuh,” jelas Adi Mahendra.
Selanjunya, Tari Legong Bhima Sakti mengisahkan tentang runtuhnya Kerajaan Mengwi di tangan Kerajaan Badung. Sang Raja, I Gusti Agung Putu terusir nan menyingkir menapaki marga suci spiritual menuju Puncak Mangu. Disanalah beliau melakukan tapabrata untuk mendapatkan pencerahan. Dari luka lahir cahaya, kekalahan berbuah kekuatan. Anak jagat Badung memuja sang raja yang akhirnya dianugerahi gelar “Bhima Sakti” sang ksatria unggul, berhati tulus bagai embun pagi, pelita dharma bagi rakyatnya, penjaga seimbangnya buana manusa, palemahan, lan idep suci.
“Melalui kisah Bhima Sakti, makna Jagat Kerthi Lokahita Samudaya” menemukan nadinya menjadi nyata, bahwa keseimbangan dunia bukan lahir dari kekuasaan semata, melainkan cinta, pengorbanan, serta kesadaran akan keterhubungan segala unsur kehidupan. Bagai Bhima Sakti yang mampu menyatukan kekuatan dan kasih, budaya pun hidup sebagai kekuatan dinamis yang menyatukan jagat raya dalam satu harmoni suci,” paparnya.
Sementara, Tabuh Kreasi Mangu Puja lanjut Adi Mahendra merupakan implementasi dari Tema PKB yang ke-47 tahun 2025 yakni adalah “Jagat Kerthi : Lokahita Samudaya, Harmoni Semesta Raya”. “Kreasi Gegitan Semara Pegulingan Mangu Puja mengartikan Mangu dalam Bahasa Austronesia sebagai wadah atau tempat merenung melainkan waktu yang berharga untuk kembali ke dalam diri, membersihkan hati dalam hinggar binggar. Sedangkan Puja, pujian atau memuliakan kembali kedamaian serta merajut hubungan yang lebih erat dengan alam semesta yang bersifat serasi, selaras dan seimbang,” jelasnya. (gs/bi)


SENI
Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala Duta Badung Bius Penonton Ardha Candra pada Parade Gong Kebyar Wanita PKB 2025
Published
2 hari agoon
8 Juli 2025
Denpasar, baliilu.com – Antusias masyarakat Bali untuk menyaksikan pementasan Utsawa (Parade) Gong Kebyar Wanita pada Pesta Kesenian Bali Ke-47 Tahun 2025 begitu luar biasa. Terlebih lagi hadirnya Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala Desa Adat Ungasan yang merupakan Duta Kabupaten Badung yang membawakan tiga garapan yakni Tabuh Telu, Tari Tedung Jagat dan Sandya Gita Jagat Hita pada Senin, 7 Juli 2025 di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Art Center Denpasar.
Tiga garapan Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala Desa Adat Ungasan yang tampil dengan busana bernuansa biru dan silver itu mampu membius penonton yang saat itu mebarung dengan penampilan Sanggar Sanjiwani Sukawati, Duta Kabupaten Gianyar.
Koordinator Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala I Made Suada, S.Ag, M.Si mengatakan Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala Desa Adat Ungasan pada Parade Gong Kebyar Wanita PKB 2025 membawakan tiga buah garapan. Pertama, membawakan Tabuh Telu kreasi yang berjudul Yogi Suara yang dilatarbelakangi bahwa kita melihat zaman globalisasi dan zaman yang penuh dengan paradoks. Bali yang semula dikenal ramah tenang mempesona kini telah penuh, terpenuhi paradoks-paradoks ekstrim dengan berbagai kedok yang sengaja secara radikal menggerogoti tata pesona nyaman Bali. Terinspirasi dari hal tersebut, penata berusaha memadukan unsur musikal ke dalam audio visual yang berjudul Yogi Suara. ‘’Nah inilah kita tuangkan dalam sebuah tabuh, bagaimana kita harus mulat sarira dan bagaimana kita harus bisa menciptakan ini menjadi sebuah karya tabuh,’’ ujar Suada.
Kedua, Tari Tedung Jagat. Tedung berarti payung atau peneduh, jagat berarti bumi atau dunia. Tedung Jagat adalah sebuah istilah kiasan kata untuk seorang pemimpin yang memiliki kebijaksanaan dan kewajiban memberikan kenyamanan kepada rakyatnya. Seorang pemimpin yang dikagumi oleh rakyatnya adalah seorang pemimpin yang tajam akan ilmu pengetahuan, selalu berbakti kepada sang pencipta tidak pernah lupa dengan jasa para leluhur dan mencintai, menghargaai serta menghormati semua makhluk yang hidup di bumi ini. Tari kreasi ini diciptakan pada ajang PKB ke-40 tahun 2018. ‘’Nah itulah sebagai gambaran daripada Tari Tedung Jagat ini,‘‘ ucap Suada.
Sedangkan garapan ketiga, menampilkan Sandya Gita yang menceritakan sebuah fenomena sesuai dengan tema PKB Jagat Kerthi. Jagat kerthi inilah yang diimplentasikan dalam sebuah sandya gita yang diberi judul Jagat Hita.
Sandya Gita Jagat Hita menyiratkan kesadaran dalam pencapaian moksartam jagaditha konsepsi holistik dunia sekala niskala. Dengan konsep garapan paduan suara Bali mengedepankan harmoni dan acord dengan ornamentasi tembang Bali mengajak kita menjaga keharmonisan di antara sesama sebagai wujud saling hormat menghormati dalam interaksi kemasyarakatan dan mengedapnkan toleransi. Memelihara dan menjaga kelestarian alam semesta dengan segala isinya dengan penuh welas asih mewujudkan lingkungan asri lestari untuk mencapai kesejahteraan wujud pencapaian jagat kerthi.
Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala yang didukung 75 orang ini sebagai penata I Wayan Widia, Pembina Tabuh I Komang Sumastra Jaya dan I Wayan Karyana. Penata Gerak I Made Nova Antara. Penasehat Bendesa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa dan Perbekel Desa Ungasan I Made Kari. Penanggung Jawab Kadisbud Badung, Ketua Listibya Kuta Selatan & Listibya Kabupaten Badung, dan Bupati Badung.
Melalui kesempatan ini, Suada menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Badung yang telah mempercayai dan menunjuk Desa Adat Ungasan sebagai Duta Kabupaten Badung dalam PKB ke-47 dalam rangka untuk melestarikan nilai-nilai seni kerawitan yang ada. ‘‘Nah, ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Desa Adat Ungasan karena Desa Adat Ungasan telah mampu menciptakan sebuah sekaa kebyar wanita yang dinamai Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala,‘‘ ucap Suada seraya menegaskan Desa Adat Ungasan melalui bendesa adat juga mensupport pelaksanaan gong kebyar wanita ini.
Bendesa Desa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Badung atas kepercayaan yang diberikan kepada Desa Adat Ungasan sebagai duta Kabupaten Badung dalam ajang Lomba Gong Kebyar Wanita pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025.
“Seiring dengan tujuan kami, saya ingin membangkitkan semangat serta memberikan motivasi kepada sekaa gong kebyar wanita agar terus tampil dalam berbagai kegiatan, baik dalam Pesta Kesenian Bali, saat pujawali, maupun dalam upacara keagamaan di desa. Ini adalah salah satu bentuk motivasi untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam pelestarian seni dan budaya,” ujarnya.
Disel Astawa juga menyampaikan harapannya agar perempuan terus aktif dalam kelompok gambelan. Menurutnya, peran ini penting sebagai upaya pewarisan budaya dari generasi ke generasi.
“Semangat ini sejalan dengan langkah mulia Ida Bagus Mantra dalam mewujudkan Pesta Kesenian Bali, yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat agar tidak melupakan seni, agama, adat, dan budaya,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya keikutsertaan perempuan dalam setiap kegiatan budaya dan keagamaan di Desa Adat Ungasan. “Saya ingin perempuan di Desa Adat Ungasan senantiasa hadir dan terlibat dalam setiap kegiatan. Ini bagian dari pelaksanaan pelestarian adat dan budaya kita,” ucapnya seraya menyampaikan bentuk motivasi dengan memberikan dana dari desa adat sebesar 500 juta, selain anggaran 800 juta yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. ‘’Kami mensuport dengan tujuan ingin masyarakat kami di Desa Ungasan setelah ini agar selalu bangkit, menjadi cemeti bagi generasi penerus khususnya bagi perempuan untuk selalu eksis tampil sehingga di kemudian hari ke depan kita tidak susah mencari bibit,‘‘ tutupnya.
Di akhir pementasan, Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa menyampaikan rasa senang dan bangga dengan penampilan Sekaa Gong Wanita Karang Asti Komala yang begitu luar biasa. Mudah-mudahan penampilan hari ini dan untuk penampilan duta-duta Badung selanjutnya akan lebih baik lagi sehingga tidak mengecewakan masyarakat Badung.
‘‘Tadi luar biasa sekali, mohon maaf penampilan antara Gianyar dengan Badung hanya dibedakan kualitas gambelannya, tetapi cara memukulnya, semangatnya dan kekekompakannya begitu luar biasa,‘‘ ujar Bupati yang hadir bersama Sekda Badung IB Surya Suamba. Hadir pula Gubernur Bali Wayan Koster.
Bupati Adi Arnawa menegaskan bahwa penampilan-penampilan hari ini dan juga untuk penampilan pada PKB tahun depan, Pemkab Badung akan lebih fokus lagi memperhatikan pelatih, tim pembina sehingga penampilan duta Kabupaten Badung jauh lebih hebat lagi. ‘‘Mungkin dengan cara memberikan reward yang lebih baik lagi kepada peserta,‘‘ pungkasnya. (gs/bi)

