Denpasar, baliilu.com – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali Emanuel Dewata Oja menanggapi sengketa pers antara Dinas Kominfo Kabupaten Tabanan dengan 17 media online yang dilaporkan kepada Dewan Pers atas dugaan pemberitaan merugikan pihak Pemerintah Kabupaten Tabanan dan disinyalir melanggar kaidah Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Saya menyampaikan apresiasi atas apa yang dilakukan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Tabanan ini karena telah menggunakan jalur Undang-Undang 40 tahun 1999 tentang Pers dalam menangani sengketa pemberitaan,” ungkap pria yang kerap disapa Edo ini.
Setelah dirinya yang juga seorang asesor dan penguji para wartawan, membaca, mempelajari secara seksama berita yang dipermasalahkan tersebut dari awal hingga akhir, ia menemukan terdapat unsur pelanggaran yang sebenarnya merupakan ranah Dewan Pers untuk memberikan penilaian.
“Dalam hal ini saya hanya mengomentari apa yang telah dilakukan Dinas Kominfo Tabanan. Memang ada unsur dugaan pelanggaran pada Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik tentang keseimbangan informasi atau balancing informasi yang sering kita kenal dengan cover both side. Di situ media-media ini memberitakan dugaan jual-beli jabatan di Kabupaten Tabanan yang seharusnya memang ada narasumber yang dikonfirmasi. Dalam hal ini mungkin Dinas Kominfo Kabupaten Tabanan dikonfirmasi, tapi di dalam berita itu tidak ada. Jadi itu satu dugaan pelanggaran,” tandasnya.
Adapun Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik sebagai berikut, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Menurut Kode Etik Jurnalistik, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
Lebih lanjut Edo menemukan adanya penggunaaan bahasa yang tidak netral atau mengarah ke opini wartawan.
“Misalkan dia menuliskan tentang tradisi jual-beli jabatan. Tradisi ini kan, ini dari mana ini? Ini opini, tradisi itu kan terus-menerus. Apakah kemarin terjadi, terus kapan lagi? Ini masuk ke opini wartawan,” tegas Edo.
Kalimat yang dituliskan dalam pemberitaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut. Selain itu ia menilai tidak ada kejelasan narasumber.
“Nah dalam kaidah jurnalistik, kalau ada tulisan atau berita dengan mengutip narasumber yang tidak jelas, harus ada bukti verifikasi, atau validasi kepada sumber lain untuk memperkuat dan memastikan ada hal seperti itu,” tandas Edo.
Yang berikut ia menemukan adanya dugaan pelanggaran terhadap pedoman penulisan media online salah satunya pencantuman atau penyebutan disclaimer pada paragraf terakhir berita.
“Jadi setelah penulisan berita itu selesai paling bawah ada disclaimer. Di dalam diclaimer itu dijelaskan, bahwa wartawan sudah melakukan upaya mengkonfirmasi narasumber, tetapi tidak ditemukan narasumbernya, misalkan seperti itu. Intinya harus ada disclaimer. Nah di dalam berita-berita tersebut di dalam 17 media online itu, saya tidak menemukan disclaimer,” pesan Edo yang juga Pemimpin Redaksi dari media online jurnalbali.com ini.
Untuk mengantisipasi munculnya keberatan dan laporan dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan, Edo mengimbau kepada wartawan dalam menulis berita agar tetap berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik dan UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Saya mengimbau teman-teman wartawan dalam menulis berita agar tetap berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang Undang Pers,” pungkas Edo. (gs/bi)