Om swastyastu….Om swastyastu… begitulah sapaan terdengar lembut ketika baliilu menginjakkan kaki tepat memasuki angkul-angkul rumah Jro Mangku Mura setelah menyisir gang kecil berjarak 50 meteran. Sedikit melirik ke kanan kiri, kami pun spontan membalasnya. Sapaan itu kembali terulang dan kami menyadari suara itu terdengar dari seekor beo di dalam sangkar yang digantang di bawah plafon.
Ada sederet burung
yang menghiasi rumah seniman lukis
klasik tradisional wayang Kamasan yang begitu terkenal di zamannya. Ada cucak
rowo, jalak suren, jalak nusa penida, tuwu tuwu, gagak, nuri yang bergantian
melantunkan irama alam yang dipadukan suara ketukan alat tenun perajin kain
songket sutra yang suntuk merajut di bale
delod.
Baru ketika memalingkan perhatian ke bale dauh, ada selembar lukisan lusuh terpampang di dinding karya Mangku Mura dan selembar lagi dipasang sebagai plafon yang memastikan bahwa inilah rumah Jero Mangku Mura yang wafat pada Mei akhir 1999 silam.
Belum sempat
pikiran liar muncul, di depan kami sudah berdiri Jero Mangku Muriati, putri
almarhum yang kini meneruskan sebagai seniman lukis klasik tradisional wayang Kamasan.
Dari Mangku Muriatilah baiilu
mendapat informasi selengkapnya bagaimana Mangku Mura yang lahir di Banjar Siku
Dusun Kacang Dawa Desa Kamasan Klungkung Bali ini mengabdikan dirinya sebagai
seniman lukis klasik yang begitu dikenal luas sampai ke manca negara, namun begitu
redup di tanah kelahirannya di bumi Suweca Pura.
Didampingi Mangku Nyoman Kondra dan Ketut Darmi, yang juga meneruskan jejak orangtuanya sebagai seniman lukis klasik tradisional Kamasan, Jero Mangku Muriati menuturkan kisah Mangku Mura yang lahir tahun 1920. Jebolan PSSRD Universitas Udayana yang kini berserah diri sebagai pemangku di Pura Paibon Tangkas Kori Agung ini mengisahkan bagaimana pahit getir seorang Mangku Mura yang sudah kasudi sebagai pemangku sejak usia belia sekitar awal zaman penjajahan Jepang.
Merasa tidak
memiliki apa-apa, baik rumah maupun sepetak sawah, Mangku Mura memilih belajar
berbagai bidang ilmu seperti olah wirama, undagi
dan melukis. Saban hari Mangku Mura ke Banjar Sangging Kamasan yang dikenal
memiliki segudang seniman lukis klasik. Ia belajar dari Kaki Ngales, Pekak
Luwi, Nyoman Dagal, Kaki Kayun dan lain-lain. ‘’Mangku tidak mau belajar dari
satu guru,’’ terang Mangku Muriati.
Mangku Mura belajar dari banyak guru karena ingin menimba dari kelebihannya masing-masing. Dari Kaki Ngales banyak menempa ilmu membuat galuh, dari Kaki Kayun menyerap sket rupa raksasa. Dari perpaduan para seniman itulah kemudian Mangku Mura menciptakan sket yang lain dari yang lain. Mangku Mura berhasil melahirkan sebuah karakter yang kuat. Sampai kini goresan Mangku Mura dikenal tegas dan keras sesuai karakter Mangku Mura sendiri yang teguh pada prinsip, satya pada pikir, kata dan laku.
Sebagai seorang
pemangku, almarhum banyak mengetahui epos cerita. Seperti kakawin Baratayuda
gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, syair Mahabarata karya Begawan Byasa yang
terdiri dari 18 parwa , Ramayana karya Begawan Balmiki dan juga kakawin
Ramayana, Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa, Bhomantaka — kakawin Jawa Timur
yang paling panjang, Gatotkacasraya, Sutasoma gubahan Mpu Tantular, Kidung
Tantri dll yang seringkali dikumandangkan dalam bait wirama ketika ngayah di pura-pura.
Dari kemampuannya akan cerita epos-epos itulah karya-karya lukisnya begitu kuat memberikan pesan filosofi. Pesan hukum sebab akibat atau karma phala yang begitu benderang dalam guratan Bima Swarga di Kertagosa. Banyak karyanya dipajang di pura-pura sebagai parba, ider-ider, lontek, kober, langse atau ulon.
Pengalaman
yang paling berkesan dari penuturan Mangku Muriati ketika ikut mengerjakan proyek lukisan Kamasan
di Kertagosa Klungkung. Mangku Mura yang maburuh
dari Pan Semari yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek akhirnya didaulat dan
diangkat sebagai tukang sket. Pengangkatan sebagai tukang sket lantaran orang tua
Pan Semari yang biasanya jadi tukang sket berhalangan sakit. Mangku Mura
ditunjuk tidak terlepas dari kepiawaiannya akan kisah-kisah sastrawi seperti Bima
Swarga. Walau tidak tersurat sebagai
bukti karya di akhir kisah cerita Bima Swarga, namun Mangku Mura sudah banyak
bercerita akan keikutsertaannya kepada putra-putrinya.
Baru setelah kemerdekaan, karya Mangku Mura dijualbelikan. Belum bisa mencukupi kebutuhan putra-putrinya yang 12 orang, Mangku Mura tidak saja menjadi petani penggarap, tukang bade, arsitek bangunan juga berkeliling mengerjakan rumah-rumah. Hingga sempat berlabuh ke Nusa Penida beberapa bulan menyelesaikan rumah bertingkat.
Kepiawaian Mangku
Mura dalam olah sket dan juga karakter lukisannya yang kuat, menarik hati sang
seniman Made Kanta yang kala itu mengabdi di Listibya Klungkung. Sempat tahun
1972-an ditawari membuat sanggar seni lukis klasik wayang Kamasan sebagai guru
lukis untuk mengajar anak-anak. Sayang
permintaan itu ditolak halus lantaran Mangku Mura tidak punya rumah dan merasa
tidak bisa menjadi guru.
Sebagai
pelukis yang karya-karyanya lain dari sket umum di Kamasan, menarik minat Prof.
Antony Forge asal Australia tatkala melakukan riset setahun di Kamasan tahun 1973.
Penulis buku Museum Sidney ini bolak-balik ke rumah Mangku Mura untuk melihat
dari dekat perjalanan seniman yang serba bisa ini. Dari Prof. Antony inilah kemudian
Mangku Mura dikenal luas di luar negeri dibandingkan di Klungkung tempat
kelahirannya.
Banyak
karyanya kemudian dijual ke artshop-artshop melalui perantara yang rajin menunggu
di rumahnya yang sederhana. Hingga pada tahun 1980-an Mangku Mura ikut keliling
Eropa bersama tim kesenian Bali dari Kokar yang terdiri dari seniman tabuh,
tari dan lukis.
Pulang dari
Eropa, Mangku Mura menghadap Gubernur Bali Prof Dr. Ida Bagus Mantra, sang
pencetus mahakarya Pesta Kesenian Bali tahun 1979. Sambil membawa hadiah selembar lukisan
karyanya sendiri. Apa yang tertanam dari
pesan seorang Gubernur yang karya-karyanya begitu membumi, ‘’Jangan merendahkan
seni lukis klasik tradisional wayang Kamasan. Tolong pertahankan di rumah
jangan dijual ke artshop-artshop. Kalau datang ke rumah baru dijual.’’ Begitu
pesan Gubernur yang dituturkan Mangku Muriati.
Sejak itulah
karya-karya Mangku Mura hanya dipajang di dinding rumahnya yang sederhana.
Tidak sedikit yang digulung. Hampir setiap hari ada saja tamu yang datang. Baik
tamu mancanegara maupun mahasiswa yang melakukan riset. Di antaranya yang rajin
hadir mahasiwa PSSRD Udayana, ISI Yogyakarta yang dipimpin I Nyoman Gunarsa,
IKIP Malang. Mangku Mura pun rutin mengikuti Pesta Kesenian Bali sejak 1979.
Pernah pada 1986-1987 Bupati Klungkung dr. Cokoda Agung menyuruh membuat lukisan yang bertemakan Puputan Klungkung. Mangku Mura yang pernah mendengarkan langsung cerita pasukan kompeni Belanda menyerang Klungkung dari para kumpi-nya yang ikut terlibat saat Puputan Klungkung mencoba menuangkannya dalam kanvas.
Kanvas
berukuran 1,5×1,5 meter itu akhirnya selesai dan mendapat upah Rp 600 .000 dan
sebuah buku sejarah Klungkung. Dalam lukisan itu menceritakan kisah perjalanan
kompeni Belanda dari Kusamba menuju Sampalan,Tukad Unda, Setra Pijig, Tangkas,
Griya Jumpung, Gelgel, Tapean hingga ke Galiran sebelum menyerang Puri
Klungkung yang dikenal dengan perang Puputan Klungkung pada 1908-an.
Sayang
lukisan itu sempat digeletakkan begitu saja yang akhirnya ditemukan dan kini
dipajang di salah satu sudut kantor pemerintahan Klungkung. Atas permintaan seorang
kawan dari Australia, karya Mangku Mura berjudul Puputan Klungkung diduplikat
dua buah oleh Mangku Muriati. Salah satunya kini berada di Sidney.
Hari demi hari Mangku Mura terus berkarya, begitu juga berserah diri di Paibon Tangkas Kori Agung dan juga di Pura Prajapati Setra Pijig serta rajin ngayah mewirama di pura-pura dan juga sering diserahi mengerjakan bade. Hingga pada akhir Mei 1999 penyakit asmanya mengantarkan sang maestro pulang menuju alam surgawi, meninggalkan banyak pesan filosofi yang sangat menginspirasi para penikmat lukisan tradisi.
Hampir 13 tahun
nama Mangku Mura tak terdengar, di balik karya-karyanya yang terus diburu para
kolektor. Bahkan selembar piagam pun belum pernah diterima Mangku Mura dari
pemerintah daerah. Hanya piagam penghargaan dari peserta study tour yang
dipajang di kamar pribadinya. Hingga pada tahun 2012 surat pemberitahuan dan
undangan datang dari Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan yang kala itu
dijabat Jero Wacik. Saat itu juga menerima lencana emas dari wakil presiden
Boediono.
Mangku
Muriati pun sempat menuturkan seorang pejabat pemkab yang menyerahkan surat itu
mempertanyakan kenapa bisa menerima penghargaan seni dari Kementerian
Pariwisata dan Kebudayaan. Muriati kala itu hanya bisa menghela nafas. Dalam
hati kecilnya, Muriati tetap merasa bangga, pesan orangtuanya yang selalu
diingat yakni tetap meneruskan seni lukis klasik tradisional wayang Kamasan,
melanjutkan ngayah spiritual sebagai pemangku dan baik-baik menjaga keluarga
agar tetap rukun sepanjang waktu. Piagam hanya selembar kertas, tetapi
karya-karya Mangku Mura akan dikenang sepanjang masa. Begitu Muriati menghibur
diri.
Karena itu, tiga putra almarhum kini suntuk menekuni seni lukis baik Mangku Muriati, Mangku Nyoman Kondra dan Ketut Darmi yang tidak pernah meninggalkan warna-warna tradisi. Termasuk juga cucu-cucunya yang mulai tumbuh bakatnya melukis wayang Kamasan. Bahkan kini karya Mangku Muriati mulai dikenal luas di kalangan seniman lukis. Banyak karyanya dipamerkan. Seperti tahun 2016 di Sudamala Sanur, tahun 2017 di Titian Art Speace Ubud dll. Saat ini sedang berlangsung pameran megarupa di beberapa lokasi antara lain di Puri Lukisan, Arma, Museum Neka dan Bentara Budaya, di mana karya Muriati dipamerkan di Puri Lukisan. Sedangkan pada 20 November 2019 juga ikut berpameran bersama seniman wanita Bali.
Tubuh boleh
saja berpulang dan menyatu ke alam abadi, namun karya-karya Mangku Mura akan
terus dikenang sepanjang masa oleh kita yang ingin bumi ini tetap harmonis. *Balu01
SERAHKAN PUNIA: Wabup Ketut Suiasa menyerahkan punia saat menghadiri acara Melaspas Kori Agung dan Tembok Penyengker di Pura Luhur Beten Bingin Banjar Sedahan Desa Munggu, Mengwi Badung, Selasa (21/1). (Foto: Hms Badung)
Badung, baliilu.com – Wakil Bupati Badung I Ketut Suiasa menghadiri acara Melaspas Kori Agung dan Tembok Penyengker di Pura Luhur Beten Bingin Banjar Sedahan Desa Munggu, Mengwi Badung, Selasa (21/1).
Turut hadir pada kesempatan ini Perbekel Desa Munggu, Bendesa Adat Munggu, Pujangga dan Pandean, BPD Desa Munggu, serta Kelihan Adat/Dinas Banjar Sedahan dan kelian Adat/Dinas Banjar Pempatan Munggu.
Sebagai bentuk dukungan Pemkab Badung terhadap pembangunan Kori Agung dan Tembok Penyengker Pura Luhur Beten Bingin tersebut dibantu dana sebesar Rp. 870 juta lebih. Pada kesempatan itu Wabup Suiasa memberikan paraf pada prasasti dan membantu secara pribadi sebesar Rp 4 juta serta bantuan dari Perbekel Munggu Rp 5 juta, Bendesa Adat Munggu Rp 500 ribu yang diterima pengurus pura I Made Ernawan.
Wabup Suiasa merasa berbahagia dan bersyukur bisa hadir di acara melaspas. Ia mengatakan di masa-masa baktinya habis sebagai Wakil Bupati tidak henti-hentinya mengajak warga selalu ngrastiti bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar acara pemelaspasan berjalan lancar dan labda karya.
“Saya merasa berbahagia dan bersyukur bisa hadir disini sebelum berakhir masa bakti saya sebagai Wakil Bupati. Kegiatan yadnyamelaspas ini sudah dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas maka sudah pasti ada hikmahnya, semoga kita selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan serta keseimbangan alam semesta,” imbuhnya.
Wabup Suiasa mengingatkan warga dalam bermasyarakat perbedaan jangan dianggap sebagai jarak atau batas untuk bersaudara melainkan perbedaan itu diibaratkan dengan upakara yadnya melaspas yang terdiri dari banyak jenis bahan yang menjadi satu sebagai persembahan. Sesuai dengan fungsi dan makna dari yadnya melaspas tersebut.
Sementara itu pengurus Pura I Made Ernawan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Wabup Suiasa di tengah kesibukannya sudah meluangkan waktu untuk hadir dan ikut mendoakan kegiatan yadnya melaspas tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa upacara pemelaspasan yang puncaknya pada Rahina Buda Cemeng Klawu dan dipuput oleh Ida Pedanda Ketut Pemaron dari Griya Sideman Banjar Pemaron Baleran Munggu serta berharap acara melaspas berjalan lancar. (gs/bi)
RAHINA TUMPEK WAYANG: Pemkot Denpasar upacara Persembahyangan bersama dalam rangka memperingati Rahina Tumpek Wayang di Pura Agung Jagatnatha Denpasar, Sabtu (18/1). (Foto: Hms Dps)
Denpasar, baliilu.com – Pemkot Denpasar menggelar upacara Persembahyangan bersama dalam rangka memperingati Rahina Tumpek Wayang di Pura Agung Jagatnatha Denpasar, Sabtu (18/1). Persembahyangan ini dilaksanakan sebagai wujud syukur serta memuja Tuhan dalam manifestasinya memberikan pencerahan kehidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan.
Dimana persembahyangan ini dihadiri Plt. Asisten III Setda Kota Denpasar, I Wayan Sudiana bersama para pimpinan di lingkungan OPD Setda Kota Denpasar beserta unsur Forkopimda Kota Denpasar.
Rangkaian upacara diawali dengan sesolahan Wayang Lemah, diiringi suara kekidungan, upacara berlangsung khidmat yang dipuput Ida Pedanda Made Taman Dwija Putra.
Plt. Asisten III Setda Kota Denpasar, I Wayan Sudiana mengatakan, peringatan Hari Tumpek Wayang merupakan hari suci pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan kehidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan.
Tumpek Wayang juga merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, manusia oleh kebodohan, keangkuhan, keangkaramurkaan.
Tumpek Wayang juga bermakna sebagai “Hari Kesenian”. Karenanya, secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan.
“Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup,” ujarnya.
Pihaknya menambahkan, melalui peringatan Hari Tumpek Wayang diharapkan mampu menyeimbangkan alam semesta beserta isinya. Serta mampu memberikan kekuatan agar manusia senantiasa mulat sarira dan introspeksi diri. (eka/bi)
HADIRI KARYA: Bupati Nyoman Giri Prasta disambut warga saat menghadiri Karya Melaspas dan Mecaru Rsi Gana di Pura Dalem Kekeran Manik Gunung, Desa Adat Kekeran, Selanbawak, Marga, Tabanan, Selasa (14/1). (Foto: Hms Badung)
Tabanan, baliilu.com – Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, turut serta prosesi Mendem Pedagingan serangkaian Karya Melaspas dan Mecaru Rsi Gana di Pura Dalem Kekeran Manik Gunung, Desa Adat Kekeran, Selanbawak, Marga, Tabanan, Selasa (14/1).
Hadir pada karya tersebut Anggota DPRD Kabupaten Badung I Wayan Regep, Anggota DPRD Kabupaten Tabanan, Perbekel Selambawak I Made Merta, Bendesa Adat Kekeran I Gede Nyoman Sabar Tangkas, tokoh masyarakat serta krama Desa Adat Kekeran Selanbawak.
Upacara ini dilaksanakan untuk penyucian Pelinggih Ida Bhatara, Pura Prajapati, Balai Kulkul, Apit Surang dan Jineng yang rampung dibangun dan direnovasi dengan dukungan hibah fisik dari Pemerintah Kabupaten Badung bernilai Rp 2,2 miliar dengan pengalokasian melalui Anggaran Induk Tahun 2024.
Usai melaksanakan mendem pedagingan dan melaksanakan persembahyangan, Bupati Giri Prasta, menyampaikan bahwa dirinya hadir di tengah-tengah masyarakat Desa Adat Kekeran Manik Gunung untuk ikut ngastiti bhakti dalam pelaksanaan karya di Pura Dalem lan Prajapati Kekeran Manik Gunung.
“Pemerintah Kabupaten Badung hadir membantu pembangunan Pura ingin memberikan yang terbaik kepada umat sedharma sehingga ke depan masyarakat tidak perlu lagi mengeluarkan iuran, cukup masyarakat gotong-royong untuk ngayah saja. Ini adalah salah satu contoh yang kita berikan untuk menjaga adat, agama, tradisi, seni dan budaya. Astungkara ini akan kami lakukan terus dengan membuat legacy bagi generasi penerus serta untuk meringankan beban masyarakat,” jelasnya.
Ia juga berpesan, menjadikan karya ini untuk memperkuat persatuan dan semangat kebersamaan dalam menjaga keluhuran adat dan budaya Bali. “Saya harapkan masyarakat harus bergotong-royong bersatu agar semua berjalan dengan baik dan lancar, astungkara masyarakat Desa Adat Kekeran, Selanbawak ini segilik, seguluk, selulung sebayantaka, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertha rahaja,” ujar Bupati Giri Prasta seraya berharap melalui upacara ini, masyarakat semua mendapatkan kerahayuan sekala dan niskala. (gs/bi)