Denpasar, baliilu.com
– Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) membuka webinar
series #5 dengan tajuk Road Map to Bali
Next Normal : Imagine Working From Bali, Why Not?, Jumat (26/6-2020) siang
yang diikuti peserta dari berbagai stake holder
pariwisata dari berbagai negara. Webinar yang sudah memasuki edisi kelima ini
secara umum bertujuan untuk mencari solusi kesiapan dan langkah-langkah
strategis Bali sebagai destinasi wisata pasca pandemi Covid-19.
Dalam Webinar yang juga didukung Bali Tourism Board (BTB)
dan Gabungan Industri pariwisata (GIPI) Bali tersebut, Wagub Cok Ace yang hadir
melalui sambungan langsung dari Kantor Wakil Gubernur Bali, Denpasar
menguraikan beberapa poin penting.
‘’Bicara masalah working
from Bali atau bekerja dari Bali, saya jadi teringat cerita seorang warga
negara Prancis yang dalam jangka waktu setahun bisa dua kali berkunjung ke Bali
dalam rentang waktu yang cukup lama. Ternyata dirinya memang sengaja bekerja dari
Bali, tinggal di Bali untuk mengurus perusahaannya dengan modal laptop kecil,
dan teras villa sederhana di Ubud. Dari cerita tersebut, saya pikir working from Bali bisa dilakukan.
Peluang ini bisa dikembangkan sebagai tujuan wisata baru di Bali, yakni dengan
mengembangkan working space yang
memadai bagi para turis seperti ini,’’ papar Cok Ace.
Pandemi Covid-19 ini, lanjut Cok Ace adalah momentum yang
tepat, karena pandemi ini di sisi lain menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru,
bekerja tidak melulu dari kantor. Bekerja dengan lebih sehat, lebih fresh,
tanpa perlu pusing sewa kantor atau berdesakan di lift.
Bali punya modal besar untuk hal tersebut. Pertama, udaranya
relatif bersih dengan cuaca yang stabil sepanjang tahun. Lalu pemandangan
memukau, pasir putih, langit biru, merupakan perwujudan ‘bersih’ yang
sesungguhnya.
Bali juga punya sisi kesehatan yang baik, dimana suasananya
lebih fresh sehingga pikiran bisa jauh dari stress. Pikiran lebih mudah
dikendalikan dan tentunya lebih bermanfaat dalam bekerja secara lebih produktif.
Lalu, kata Cok Ace, Bali juga relatif lebih terjangkau dari
segi biaya hidup, dibandingkan negara lain. Bali memiliki vibrasi tersendiri,
suatu healing power yang diperoleh
dari beragam upacara yang dilaksanakan hampir setiap hari. Memberikan
ketenangan bagi siapa pun.
Dalam aspek keamanan dan kenyamanan, ungkap Cok Ace, masyarakat
Bali sangat terkenal dengan keramahan, hospitality-nya.
Orang Bali sangat menerima perbedaan dan asalkan tidak menimbulkan
ketersinggungan maka akan sangat mudah orang luar untuk nyaman di Bali.
Dari sisi infrastuktur, Bali sedang giat membangun dan
menyempurnakan segala akses transportasi baik darat, laut dan udara.
Pembangunan juga kini menyasar kawasan Bali utara dan Bali barat, dengan jalan
tol serta penyempurnaan bandara dan pelabuhan. Pelabuhan Benoa misalnya,
disiapkan untuk menampung kapal cruise berukuran besar dengan fasilitas memadai.
‘’Potensi luar biasa ini, sangat berpeluang untuk
dikembangkan, dengan menyasar para pekerja yang kini lazim disebut digital nomad,’’ ujar Cok Ace.
Namun tentu saja, masih ada beberapa hal lain yang patut
disempurnakan seperti akses internet yang lebih cepat dan stabil. Beruntung, sebagian
besar wilayah Bali bukan merupakan blind
spot sehingga memudahkan akses internet. Bali juga punya program Bali Smart Island sehingga di masa
mendatang, tidak akan ada lagi kawasan di Bali yang tidak tersentuh akses
internet.
Selain itu, juga perlu dirancang sistem visa yang bersifat long stay dengan syarat-syarat tertentu.
‘’Sekali lagi, jika kita cerdas menciptakan Bali sebagai working space untuk para
pekerja dari mancanegara, mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar
dunia, maka ini adalah peluang besar,’’ ujar Cok Ace.
Sementara itu, Djauhari Oratmangun, Dubes Indonesia untuk
China dan Mongolia mengatakan Bali punya modal besar untuk program working from Bali dengan paparan bapak
Wagub Bali. Bahkan sebenarnya sudah sejak lama, banyak wisatawan yang datang
untuk bekerja sekaligus berwisata ke Bali.
Tentu saja, internet yang stabil dan cepat akan jadi modal
dasar untuk itu dan akan sangat baik jika dijalankan dengan program Bali Smart Island. Ditambah modal alam
dan fasilitas di Bali, maka akan menjadi tempat kerja yang nyaman bagi digital nomad sekaligus memberikan
pengalaman wisata tersendiri .
Di China, sudah banyak perusahaan yang melihat Bali sebagai
salah satu lokasi untuk working space,
mulai dari perusahaan IT raksasa hingga e- commerce yang memang sudah
memberikan keleluasaan bagi karyawannya untuk bekerja, dari mana pun.
Terlebih para digital
nomad ini punya kecenderungan spend
money yang tinggi. Ke depannya, perlu juga promosi yang signifikan di
negara-negara dengan perusahaan raksasa, untuk para pekerja kreatif, desainer,
dan mereka yang tidak memerlukan kantor formal. Jangan lupakan pula promosi
lewat sosial media yang kini punya dampak sangat besar.
Sedangkan Paulus Herry Arianto, CEO Indonesia Bali Chapter menyatakan
dampak pandemi Covid-19 yang menghasilkan kampanye work from home bisa dielaborasikan menjadi work from Bali , karena nama Bali sebagai destinasi wisata dan Bali
punya segala potensi untuk itu.
Kenapa memilih Bali, para digital nomad sebenarnya
sudah sejak lama memasukkan Bali sebagai salah satu pilihan utama untuk working space, karena cuacanya bagus, living cost terjangkau, kaya sejarah dan
tradisi serta dianggap punya aspek keamanan yang cukup.
Bali juga punya keunggulan dengan kebijakan-kebijakan
pemerintahnya yang sangat mendukung sektor pariwisata. Terlebih dalam visi
Gubernur dan Wakil Gubernur saat ini, melihat sektor pertanian dan industry 4.0
sebagai pilar penting mendukung pariwisata.
Salah satu survei kepada para pekerja dunia saat ini
menunjukkan 78 persen ingin lebih fleksibel dalam tempat dan waktu kerja, 82
persen ingin kehidupan kerja yang lebih seimbang (less stress) dan 54 persen
pekerja akan meninggalkan pekerjaannya saat ini jika memperoleh pekerjaan yang
lebih fleksibel.
Kemudahan dalam pemberian visa atau kebijakan khusus visa
untuk digital nomad ini juga sangat
penting untuk menunjang era working from
Bali ini.
Setiap banjar adat harus dapat manfaat dari jenis wisata
baru ini dan tiap kabupaten juga hendaknya menyediakan working space khusus.
‘’Berdasarkan pengamatan dan perhitungan saya, rata-rata
para digital nomad ini minimal
menghabiskan 1300 US Dollar per bulan per orang, dan jika dihitung per tahun
sama dengan 15.600 US Dollar per tahun.
Jika angka ini dikalikan 100 ribu orang saja, maka potensinya mencapai 1,56
Milyar US Dollar atau sebanding 21,4 triliun rupiah. (*/gs)