Denpasar, baliilu.com
– Di tengah pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat di berbagai belahan dunia
untuk sementara membatasi perjalanan, publik Belanda mengungkapkan kerinduan
untuk dapat segera berwisata ke Pulau Dewata.
Sebanyak 76 persen publik Negeri Kincir Angin itu menjawab
‘Bali’ ketika ditanya daerah mana di Indonesia yang saat ini sangat ingin
mereka kunjungi. Jajak pendapat secara daring itu dilaksanakan dalam rangkaian
Webinar yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam upaya memperkuat peran perwakilan promosi
pariwisata Indonesia di luar negeri atau VITO (Visit Indonesia Tourism Officer)
di Negeri Belanda, Kamis (11/6-2020).
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok
Ace) yang menjadi pembicara pada kegiatan webinar sangat memahami kerinduan
masyarakat dunia, khususnya warga negara Belanda untuk segera dapat berwisata
ke Bali. Sebagai wakil gubernur yang juga menjabat Ketua Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali, dirinya banyak mendapat pertanyaan
kapan pariwisata Bali akan dibuka kembali.
Pertanyaan itu tak hanya datang dari masyarakat Bali yang
sebagian besar berkecimpung dalam sektor pariwisata, publik dunia pun sudah
sangat rindu untuk datang menikmati kembali keindahan alam dan budaya Bali.
Namun pemerintah belum dapat mengatakan secara pasti kapan Bali akan dibuka
kembali.
Cok Ace menyampaikan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pusat menetapkan 3 kriteria dengan 11 indikator bagi daerah di Indonesia untuk membuka kembali kegiatan ekonominya. Salah satu indikatornya adalah penurunan jumlah kasus positif selama 2 minggu terakhir minimal 50 persen sejak puncak penambahan kasus positif Covid-19.
Mencermati perkembangan, menurut Cok Ace saat ini penyebaran
Covid-19 di daerah Bali masih belum menunjukkan penurunan yang stabil. Namun ia
meyakinkan saat ini Bali terus berupaya melakukan upaya terbaik dalam
menanggulangi penyebaran wabah Covid-19. “Sejalan dengan itu, kita juga bekerja
keras mempersiapkan segala hal yang esensial bagi kehidupan kenormalan baru
(new normal) di masa mendatang,” ujar Cok Ace yang mengikuti webinar secara
daring dari ruang kerjanya.
Salah satu persiapan yang telah dilaksanakan adalah menyusun
protokol kesehatan untuk diterapkan pada seluruh sektor pelayanan publik maupun
swasta yang berfokus pada kebersihan (cleanliness),
kesehatan (health), serta keamanan (safety). Penglingsir Puri Ubud ini
sangat berharap, Bali dapat dengan cepat meraih peluang untuk menjadi destinasi
wisata yang unggul begitu dinyatakan layak dibuka kembali.
“Peluang ini dapat kita raih selama kita bisa memastikan wisatawan
yang berkunjung ke Bali mendapatkan perasaan aman dari resiko penyebaran virus
Covid-19. Oleh karena itu, implementasi protokol kesehatan pada seluruh sektor,
terutama industri pariwisata, menjadi fokus utama kita semua,” bebernya.
Pada bagian lain, Cok Ace yang didampingi Kadis Pariwisata
Provinsi Bali Putu Astawa juga meyakinkan publik negeri Belanda bahwa daerah
Bali sejatinya cukup berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19 hingga mendapat
apresiasi langsung dari Presiden RI Joko Widodo. Sekalipun trend
perkembangannya masih fluktuatif, namun secara umum Bali hanya berkontribusi
1,9% pada angka kasus positif Covid-19 di Indonesia dengan angka kematian yang
sangat kecil.
Menurut Cok Ace, keberhasilan Bali dalam menekan angka
penderita Covid-19 ini berkat upaya dan dukungan dari berbagai pihak. Strategi
yang ditempuh Bali untuk menanggulangi pandemi ini pun terbilang unik. Tidak
seperti daerah lainnya di Indonesia, Bali memilih untuk tidak melakukan
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Strategi Bali dalam
menanggulangi pandemi virus Corona dilakukan secara bertahap dengan melibatkan
seluruh komponen masyarakat dan instansi pemerintah daerah, baik di tingkat
provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
Hal ini ditunjukkan dengan pembentukan Satgas Covid-19 di
tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya, Bali juga
membentuk satgas gotong-royong yang memberdayakan desa adat di Bali. “Ini
adalah bentuk sinergitas masyarakat dengan pemerintah dalam rangka memutus mata
rantai penyebaran virus dengan memanfaatkan kearifan lokal,” imbuhnya.
Selain itu, Bali juga memberlakukan kebijakan preventif
lainnya berupa screening ketat di
pintu masuk dan implementasi protokol kesehatan pada fasilitas publik. Salah
satu contoh penerapan kebijakan ini adalah memberlakukan syarat hasil tes PCR
(swab) negatif bagi pelaku perjalanan udara sebelum keberangkatan menuju Bali.
Kebijakan ini diambil sebagai upaya untuk meningkatkan jaminan keamanan baik
bagi wisatawan maupun masyarakat Bali.
Cok Ace menyebut, tes PCR akan meringankan beban pikiran
wisatawan sebelum bepergian. Sebab mereka akan lebih percaya diri dan yakin
bahwa diri mereka terbebas dari virus Corona. Di sisi lain, masyarakat Bali pun
akan dengan senang hati menyambut mereka kembali ke Bali. “Saya menyadari saat
ini biaya tes PCR masih terbilang mahal, namun jika melihat manfaat yang
diperoleh saya rasa hal ini tidak akan terlalu menjadi hambatan bagi pariwisata
Bali,” pungkasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pemasaran Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nia Niscaya
mengatakan, rangkaian webinar ini merupakan upaya pemerintah untuk menggerakkan
sektor pariwisata di masa sulit seperti saat ini dengan mengoptimalkan peran
VITO yang tersebar di 16 negara di dunia. Menurutnya hal ini penting untuk menjaga kepercayaan terhadap
citra pariwisata Indonesia dengan menyampaikan kebijakan terkini dan product update sehingga brand awareness pariwisata Indonesia
tetap terjaga.
Melalui kegiatan ini diharapkan terjadi soft selling antara para pelaku usaha di luar negeri dengan pelaku
usaha dalam negeri yang berpartisipasi. Dengan demikian pariwisata Indonesia
diharapkan menjadi top of mind dalam
pilihan calon wisatawan.
Kegiatan webinar yang sudah dilaksanakan sejak 11 Mei
2020 menyasar pasar sejumlah negara
seperti Belanda, Rusia, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Malaysia,
Thailand, Taiwan, India, Timur Tengah dan Arab Saudi. Destinasi wisata yang
akan dipublikasikan dalam kegiatan webinar ini adalah Bali (sebagai destinasi
utama pariwisata Indonesia), Batam-Bintan (sebagai destinasi cross border), dan juga Yogyakarta
(sebagai salah satu dari 5 Destinasi Super Prioritas Indonesia). Dalam paparannya,
Nia mengurai tentang protokol kenormalan baru CHS (Cleanliness, Health dan
Safety) yang diterapkan pada destinasi wisata yang akan dijadikan pilot
project. (*/gs)
FGD: Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Buleleng saat menggelar FGD Desa Wisata Julah, Strategi Baru Jadikan Desa Tertua di Bali Destinasi Unggulan, di ruang pertemuan Kantor Desa Julah, Selasa (3/12). (Foto: Hms Buleleng)
Buleleng, baliilu.com – Desa Julah Kecamatan Tejakula, Buleleng-Bali, salah satu desa tertua di Bali, kembali menjadi sorotan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Buleleng, Selasa (3/12).
Bertempat di ruang pertemuan Kantor Desa Julah, diskusi yang dipimpin langsung oleh Kepala Dispar Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara, menghasilkan sejumlah strategi baru untuk mengembangkan potensi desa sebagai destinasi wisata unggulan.
Kadis Dody mengungkap bahwa Desa Julah disebut memiliki berbagai potensi wisata yang luar biasa. Kekayaan budaya seperti seni tari tradisional, kerajinan lokal, dan ritual adat menjadi daya tarik utama. Selain itu, panorama alam berupa persawahan hijau, pegunungan asri, serta lanskap pedesaan yang tenang menawarkan pengalaman wisata alam yang autentik. Sebagai salah satu desa tertua, nilai sejarah Desa Julah juga menyimpan cerita unik yang dapat menarik minat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Meskipun demikian, beberapa kendala seperti infrastruktur yang kurang memadai, seperti akses jalan yang sulit dan minimnya fasilitas pendukung wisata, menjadi penghambat utama. “Promosi Desa Julah yang masih terbatas juga membuat desa ini kurang dikenal luas. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata dinilai perlu ditingkatkan agar manfaat pariwisata dapat dirasakan secara merata,” ujar Dody yang dikutip dari laman bulelengkab.go.id.
Melalui diskusi yang intens, beberapa langkah strategi disepakati untuk menjadikan Desa Julah destinasi unggulan, seperti perbaikan infrastruktur, paket wisata kreatif, promosi digital, pemberdayaan masyarakat dan.pelestarian lingkungan.
Sebagai tindak lanjutnya, akan dibentuk tim kerja yang melibatkan masyarakat, pemerintah desa, dan pihak terkait. Tim ini akan menyusun rencana pengembangan desa wisata yang dapat disampaikan kepada pemerintah dan pihak sponsor.
Mantan Camat Buleleng itu optimistis bahwa Desa Julah memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi destinasi wisata unggulan yang berkelanjutan. “Desa Julah tidak hanya menyimpan kekayaan budaya dan alam, tetapi juga sejarah panjang yang dapat menarik wisatawan. Dengan strategi yang tepat, desa ini dapat menjadi ikon wisata baru di Bali,” ujarnya.
Dengan semangat dan kolaborasi yang terjalin, Desa Julah siap menata langkah menuju masa depan pariwisata yang lebih cerah, menjadikannya kebanggaan baru bagi Buleleng. (gs/bi)
DEWI SITA: Peluncuran program "Dewi Sita" oleh Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, Jumat (29/11) di Wantilan Pura Sakenan, Desa Adat Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan. (Foto: Hms Dps)
Denpasar, baliilu.com – Walikota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara, meluncurkan program Desa Wisata Serangan Terintegrasi (Dewi Sita) di Wantilan Pura Sakenan, Desa Adat Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Jumat (29/11). Program ini bertujuan mengembangkan Desa Serangan sebagai destinasi wisata unggulan yang berkelanjutan, mengintegrasikan pelestarian budaya, keseimbangan ekosistem, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Program “Dewi Sita” merupakan implementasi Proyek Perubahan Diklat PKN Tk II Angkatan ke-29 Provinsi Bali di Desa Wisata Serangan untuk mengembangkan destinasi wisata berkelanjutan. Melalui pendekatan berbasis lingkungan, ekonomi sirkular, dan pelestarian sumber daya alam, program ini bertujuan meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan partisipasi masyarakat serta para pemangku kepentingan dalam membangun pariwisata yang inklusif dan ramah lingkungan.
Peluncuran program ini dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kota Denpasar, Ida Bagus Alit Wiradana, sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkot Denpasar, Plt. Camat Denpasar Selatan, Ni Komang Pendawati, Lurah Serangan, Ni Wayan Sukanami, Bendesa Adat Serangan, I Nyoman Gede Pariatha, Penglingsir Puri Agung Kesiman Anak Agung Ngurah Kusuma Wardhana, dan berbagai elemen masyarakat.
Dalam sambutannya, Walikota Jaya Negara menekankan pentingnya kolaborasi dan inovasi untuk mewujudkan Desa Wisata Serangan sebagai destinasi unggulan yang mengedepankan pelestarian budaya lokal, keseimbangan ekosistem, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Dewi Sita bukan hanya program pengembangan pariwisata, tetapi juga upaya untuk memastikan keberlanjutan ekonomi masyarakat, kelestarian lingkungan, dan pelestarian adat serta budaya Desa Serangan. Ini adalah langkah nyata menuju transformasi pembangunan pariwisata berkelanjutan yang dapat menjadi model bagi desa-desa lainnya,” ujar Walikota Jaya Negara.
Disampaikan pula, program “Dewi Sita” mencakup berbagai inisiatif, seperti pengelolaan kawasan wisata berbasis masyarakat, promosi paket wisata ramah lingkungan, dan pelibatan UMKM lokal dalam mendukung ekonomi sirkular. Walikota Jaya Negara mengharapkan, program ini dapat meningkatkan daya tarik Desa Serangan sebagai destinasi wisata yang unik sekaligus menjaga harmoni antara manusia, budaya, dan alam.
Acara peresmian ditandai dengan penekanan tombol dan diiringi dengan pertunjukan seni budaya, penyerahan sembako serangkaian HUT Radio Publik Kota Denpasar, mencerminkan semangat gotong-royong dalam membangun desa wisata yang kreatif dan berkelanjutan.
Sementara, Kadis Pariwisata Kota Denpasar, Ni Luh Putu Riyastiti serta mewakili project leader Program Dewi Sita menyampaikan, bahwa terdapat sepuluh Program Inovatif dalam Dewi Sita. Yakni Paruman Dewi Sita oleh Dinas Perkim dengan penyediaan rumah layak huni untuk masyarakat Serangan, mendukung konsep pro-poor tourism. Selaras Dewi Sita oleh Dinas Sosial, melalui Sekolah Keluarga Harapan untuk memberdayakan perempuan melalui kurikulum khusus dan pelatihan SDM.
Di samping itu terdapat pula Lekas Bisa Wujudkan Dewi Sita oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, membangun Pariwisata berbasis komunitas untuk memanfaatkan potensi lokal. Sigap Dewi Sita oleh Dinas Damkar dan Penyelamatan sebagai mitigasi risiko kebakaran dengan menempatkan unit damkar di Desa Serangan. Makin Dekat Makin Bersih Dewi Sita oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan melalui peluncuran bank sampah dan pengelolaan lingkungan yang ramah lingkungan. Pasikian Dewi Sita oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, adalah Pemetaan Konflik untuk menciptakan keamanan di lingkungan multikultural.
Tarian Gaya Pesona Dewi Sita oleh Dinas Kebudayaan sebagai inventarisasi cagar budaya sebagai potensi wisata edukatif. Pilar Dewi Sita dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sebagai literasi dan digitalisasi keuangan untuk transparansi pengelolaan desa. Dewi Sita Berseri oleh Dinas Pariwisata sebagai penguatan regulasi, branding, dan infrastruktur pariwisata. Rindu Dewi Sita oleh Dinas Kominfos yakni Interoperabilitas data untuk memantau perkembangan pariwisata melalui aplikasi DPS.
Sebagai capaian dan komitmen, Desa Wisata Serangan yang sebelumnya meraih predikat Terbaik III Desa Wisata Rintisan Tingkat Nasional (2023) kini diarahkan menjadi model desa wisata mandiri dan maju. Dengan dukungan dari seluruh pihak, program ini diharapkan membawa transformasi besar untuk menjadikan Desa Serangan sebagai ikon pariwisata berkelanjutan di Bali. “Harmoni antara manusia, budaya, dan alam adalah inti dari Dewi Sita,” tutup Riyastiti. (eka/bi)
MONEV: Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) pungutan wisatawan asing di Daya Tarik Wisata (DTW) Kertagosa, Klungkung, pada Rabu (20/11). (Foto: Hms Pemprov Bali)
Klungkung, baliilu.com – Pemerintah Provinsi Bali terus menggenjot penerimaan daerah melalui Pungutan Wisatawan Asing (PWA) senilai Rp 150.000 per wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Bali. Sejak diberlakukan pada 14 Februari 2024, kebijakan ini telah menyumbang pendapatan hingga Rp 287 miliar.
Dinas Pariwisata Bali mencatat bahwa angka tersebut berasal dari 40% wisman atau sekitar 4,7 juta wisatawan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Artinya, masih ada 60% wisman yang belum membayar pungutan.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok. Bagus Pemayun, memimpin langsung kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) di Daya Tarik Wisata (DTW) Kertagosa, Klungkung, pada Rabu (20/11). Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak, seperti Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung, Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), ASITA, Satpol PP, Badan Kesbangpol, PT Bank BPD, Tim Pungutan Wisatawan Asing, serta Badan Pengelola Kertagosa.
Monev dilakukan di DTW Kertagosa sebagai salah satu destinasi unggulan di Klungkung, sekaligus lokasi strategis untuk sosialisasi kebijakan PWA kepada wisatawan.
Tjok. Bagus Pemayun menjelaskan, masih tingginya angka wisatawan yang belum membayar PWA disebabkan oleh sistem yang belum sepenuhnya optimal. “Sebanyak 90% wisman membayar sebelum keberangkatan, tetapi di bandara tidak ada pemeriksaan terkait PWA. Hal ini membuat banyak wisatawan lolos dari sistem kami,” jelasnya.
Untuk meningkatkan kepatuhan wisman, Pemprov Bali menyosialisasikan pembayaran PWA melalui aplikasi Love Bali dengan sistem cardless berbasis web, yang diverifikasi menggunakan alat checker. Pemprov juga menggencarkan kerja sama dengan agen perjalanan dan bandara untuk memperluas informasi kepada wisman.
Melalui monev ini, Pemprov Bali berharap kebijakan PWA menjadi lebih efektif, sekaligus meningkatkan pendapatan daerah guna mendukung pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. (gs/bi)