Denpasar, baliilu.com – Sebagai seniman,
perajin Bali sangat kreatif. Seperti para penenun yang menciptakan motif-motif sendiri yang begitu luar biasa. Sayangnya dalam
perkembangan zaman, ada yang mengambil keuntungan dengan mengklaim, mematenkan
ciptaaan atau
karya perajin tersebut hingga pada suatu kasus sang perajin malah tidak bisa
memproduksi hasil karyanya sendiri, sebab sudah dipatenkan orang lain. Di sini
peran petugas yang mesti lebih banyak menjemput bola, untuk memproses Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
dari para perajin di daerah.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah
(Dekranasda) Bali Ny. Putri Suastini Koster mengatakan
hal itu saat wawancara eksklusif terkait kiprah dan
peranan Dekranasda, khususnya mengenai perkembangan kerajinan lokal di Bali.
Wawancara pendamping orang nomor satu di Bali dengan salah satu TV nasional
tersebut dilaksanakan di Ruang Kerja Ketua Dekranasda Bali, Jayasabha, Denpasar
pada Jumat (3/4) sore.
‘’Kita juga harus paham bagaimana karakter perajin kita yang tidak lain
adalah seniman-seniman yang sangat fokus pada hasil karya. Hasilnya ada yang
‘menyerah’ untuk mengurus administrasi berkaitan dengan hak cipta misalnya. Ada
juga ketakutan mengenai proses yang panjang untuk mendapatkan hak ciptanya,’’ ujar Ny. Putri Koster.
Terkait perajin sandang di Bali, Ny.
Putri Koster melihat para penenun songket atau endek lokal Bali, harus menghadapi ‘tantangan’ dari
produk serupa yang menggunakan mesin bordir pada produksinya. Sayangnya juga,
motif-motif yang ditawarkan pun sama karena menjiplak langsung dari motif-motif
yang dibuat para perajin tradisional. Padahal kalau bicara kualitas jauh berbeda,
meskipun harga yang ditawarkan lebih murah.
Kondisi ini perlu upaya penyelamatan khususnya
dari para konsumen untuk memilih dan sekaligus melestarikan produk karya
penenun lokal Bali. Jangan sampai para perajin lokal Bali yang sudah susah payah menciptakan
motif-motif, jadi gulung tikar dan tidak mau berkreativitas lagi.
Ny. Putri Koster menegaskan
tugas utama Dekranasda khususnya di Bali lebih menekankan
pada upaya promosi produk-produk kerajinan Bali, dari produsennya yakni para
perajin lokal Bali hingga dikenal oleh para konsumen.
‘’Setelah menjadi produk, umumnya akan menemui kendala-kendala promosi. Jadi kita bersama
melakukan upaya pembinaan terkait langkah-langkah untuk memperkenalkan,
mempromosikan produk kerajinan lokal tersebut. Kita maklumi bahwa
pemasaran adalah salah satu masalah bagi perajin lokal kita,’’ ujar Ny. Putri Koster.
Perajin juga membutuhkan pameran-pameran
sebagai media untuk mempromosikan karya-karya mereka. Bahkan pameran di daerah
sendiri pun sangat penting, karena produk para perajin bisa lebih dikenal, para
peminat pun bisa datang langsung dan melihat dari dekat.
‘’Setelah virus corona ini mereda, kami di Dekranasda Bali akan kembali menggeber promosi
produk kerajinan kita, yang mengkhusus pada produk tradisional, warisan para
leluhur kita. Begitupun dengan UMKM yang baru berkembang, juga kita jangkau dan
promosikan lebih banyak lagi,’’
ujar Ny. Putri Koster.
Bali ini, lanjut Ny. Putri Koster hasil dan produk
kerajinannya sangat banyak dan beraneka ragam. Sudah sepantasnya para perajin lokal Bali menampilkan
produk-produknya di tempat yang bergengsi, karena Bali sudah layak jadi etalase
produk kerajinan. Ini penting bagi para perajin, bisa memamerkan hasil karyanya
di ‘rumahnya’ sendiri.
Para perupa pun perlu dibuatkan satu wahana,
suatu even internasional. Di ajang-ajang inilah para seniman menunjukkan keunggulan Bali, dengan
maestro-maestronya yang luar biasa. Bali ke depan akan terus berinovasi, namun juga tepat sasaran untuk
menyentuh para perajin.
‘’Peranan industri pariwisata kita untuk mengayomi para perajin saat ini
menurut saya masih harus ditingkatkan lagi. Dulu masih lebih baik menurut saya,
produk kerajinan bisa masuk hotel, ikut pameran besar, dan lainnya. Kita harus
gaungkan lagi, bahwa Bali punya perajin dengan imajinasi yang luar biasa,’’ ujarnya.
Kita punya taksu
dalam tiap produknya. Ada sentuhan tangan-tangan terampil yang keahliannya terasah sejalan
dengan waktu. Sehingga ‘seni-nya’ bukan pada mesin, namun pada senimannya.
Kualitaslah yang harus kita kejar, bukan semata kuantitas.
Kita juga perlu merangsang lagi pada generasi
muda, bahwa mereka punya tugas sebagai pewaris yang bahkan harusnya bisa
mengambil alih kepiawaian para seniman dan perajin pendahulu kita. Tunjukkan
pula bahwa seniman punya posisi yang terhormat di tengah masyarakat Bali. (*/gs)