LEBIH dari 60 tahun sesolahan Legong Dedari tenggelam karena tidak ada yang meneruskan. Sampai penduduk Banjar Pondok Desa Peguyangan Kaja Denpasar, dimana Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Pengideran Dewata Nawa Sangha berada, suatu ketika merasakan ada satu keanehan di wilayahnya. Kematian secara beruntun terjadi hingga 8 kali berturut-turut, perpecahan di antara anggota banjar, kehilangan sesari di balai banjar, dan keanehan lainnya.
Setelah
warga nunasang akhirnya penduduk Banjar Pondok nangiang kembali sesuhunan Ratu Ayu Mas Meketel untuk mesolah yang diiringi tari Legong Dedari. Pertama kali mesolah pada April 2018 dan kemudian
setelah direkonstruksi oleh Tim ISI Denpasar kembali mesolah pada September 2019.
NAPAK PERTIWI: Sebelum Mesolah, Ratu Ayu Mas Meketel dan Gelungan Sakral Legong Dedari Napak Pertiwi (FT: I Nyoman Linggih)
Sesolahan Legong Dedari ditarikan tiga kali dalam setahun. Saat Tumpek Wayang (dua kali setahun) ketika piodalan di Pura Balai Banjar Pondok Peguyangan Kaja yang digelar saat mesineb pada Selasa Klau di jaba balai banjar atau di jalan raya. Selanjutnya pada purnama Jiyestha, purnama setelah nyepi bertepatan dengan piodalan di Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari, biasanya mesolah di utama mandala pura.
JRO DEWA NIANG MANGKU: Tulus Bhakti Rawat Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Bersama Keluarga
Dari penuturan Jro Dewa Niang Mangku dan juga mengutip dari hasil penelitian Kajian Estetika Hindu yang dilakukan Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si dan Dr. Dewa Ketut Wisnawa, S.Sn, M. Ag dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar tahun 2019, perihal ‘’Sasolahan Legong Dedari di Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Pengideran Dewata Nawa Sangha’’, bahwa sebelum sesolahan Legong Dedari dilaksanakan ada serangkaian upacara digelar nedunang ida sesuhunan Ratu Ayu Mas Meketel napak pertiwi ngider tiga kali ke arah ke kiri. Paling depan kober anoman, senjata keris, gelungan Legong Dedari dan terakhir sesuhunan Ratu Ayu Mas Meketel berupa rangda.
DR. DRS I NYOMAN LINGGIH, M.SI: Bersama Dr. Dewa Ketut Wisnawa,S.Sn, M. Ag Melakukan Penelitian Perihal Sasolahan Legong Dedari di Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari
Penari Legong Dedari berjumlah 12 orang wanita yang masih berstatus remaja. Sesolahan Legong Dedari diiringi gambelan gong semar pegulingan duwe Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari. Sesolahan Legong Dedari tahap pertama keluar 6 orang penari masing-masing 3 penari legong berwarna kuning dan 3 berwarna merah. Tahap kedua keluar lagi 4 penari bergerak menari mengikuti gerak tari tahap pertama. Penari ini masing-masing 2 orang memakai kostum putih dan 2 orang kostum hitam.
LEGONG DEDARI: Memakai Kostum dengan Warna Putih, Merah, Kuning dan Hitam (FT: I Nyoman Linggih)
Tahap ketiga keluar dua penari yang masing-masing menggunakan atau memundut gelungan pejenengan yang disakralkan berkostum hitam dan putih, dimana penarinya tidak boleh digantikan. Ketika dua penari ini memasuki kalangan maka sepuluh penari lainnya mengikuti gerakan ngumbang. Bergerak menari posisi bersimpuh berbentuk lingkaran menghadap ke dalam ke arah dua orang penari yang menggunakan gelungan yang disakralkan seolah-olah menyambut kedatangan serta menghormat kepada dua kakak tertuanya para widyadari dan widyadara.
LEGONG DEDARI: Menari di Jaba Balai Banjar (FT: I Nyoman Linggih)
Saat itu dilantunkan suara gending Shang Hyang seperti memanggil-manggil atau mengundang kehadiran para widyadari-widyadara untuk hadir memeriahkan acara sesolahan Legong Dedari.
PENARI LEGONG DEDARI MUNDUT GELUNGAN SAKRAL: Paling Depan Disambut Penari Lainnya
Saat para penari bergerak menari dengan sikap bersimpuh dan dua penari yang menggunakan gelungan yang disakralkan dengan sikap berdiri serta gerakan dan komposisi para penari mengikuti komposisi pengideran dewata nawa sanga yaitu sesuai dengan komposisi pelinggih yang ada di Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Pengideran Dewata Nawa Sangha.
GONG SEMAR PEGULINGAN: Mengiringi Tari Legong Dedari (FT: I Nyoman Linggih)
Setelah gending Shang Hyang dilantunkan, penari Legong Dedari menghadap ke arah medalnya sesuhunan Ratu Ayu Mas Meketel yang sedang melakukan upacara katuran banten. Selanjutnya tari Legong Dedari melakukan gerak tari memendak menjadi dua baris menuju ke arah Ratu Ayu Mas Meketel. Dua penari legong mundut gelungan sakral bergerak maju menjemput ikut bersama katuran banten. Ratu Mas Ayu Meketel dituntun oleh dua penari Legong Dedari. Yang memakai kostum hitam di sebelah kanan dan kostum putih di sebelah kiri keluar bersama-sama kemudian bergabung menari bersama penari Lengong Dedari lainnya.
RATU AYU MAS MEKETEL: Disambut Dua Penari Legong Dedari Mundut Gelungan Sakral (FT: I Nyoman Linggih)
Ratu Ayu Mas Meketel disambut penari legong lainnya dengan gerakan murwa daksina sementara Ratu Ayu Mas Meketel bergerak melingkar ke kiri lanjut para penari duduk melingkar dengan komposisi berdasarkan warna pengideran dewata nawa sanga. Di sanalah Ratu Ayu Mas Meketel mengajak semua widyadari untuk bertimbang rasa yang dilanjutkan dengan semua penari legong bergerak menari. Ketika penari legong kembali bersimpuh maka Ratu Ayu Mas Meketel yang meraga Siwa Pasupati berucap-ucap ke arah timur, selatan, barat dan utara yang pada intinya meminta kala petak, kala bang, kala jenar dan kala ireng untuk pulang ke tempatnya masing-masing.
RATU AYU MAS MEKETEL: Saat-saat Melakukan Somya pada Bhuta Kala di Empat Penjuru Mata Angin (FT: I Nyoman Linggih)
Ketika komposisi tarian membentuk posisi bunga teratai di mana Ratu Ayu Mas Meketel di tengah sebagai simbol Siwa, maka para penari Legong Dedari serentak sontak mekaik bersorak minta menari lagi. Dalam keadaan tidak sadarkan diri. Para penari kemudian dipapah dan dibawa ke jeroan Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Pengederan Dewata Nawa Sangha. Di sana para penari melanjutkan tarian yang sudah tidak beraturan lagi. Bergerak menari yang kadang di luar akal sehat seperti berendam, mesucian di kolam sampai larut malam hingga pagi hari. Anehnya para penari tidak merasakan dingin. Hal aneh juga terjadi dialami Jro Mangku Bale Banjar Pondok I Wayan Ruda secara tidak sadar menceburkan diri ke kolam dan sedikit pun tidak basah. Lebih aneh lagi para penari seketika begitu fasih berbahasa Cina.
Ketika para penari telah merasa puas mungkin menari, mesucian dan selanjutnya penari dalam keadaan tidak sadarkan diri mengarahkan dirinya menuju pelinggih masing-masing sesuai dengan warna kostum penari dan warna masing-masing pelinggih pengideran dewata nawa sanga. Selanjutnya beliau ngeluhur di depan pelinggih masing-masing.
Setelah nangiang Rayu Ayu Mas Meketel yang diiringi
Legong Dedari inilah warga masyarakat Banjar Pondok merasakan lebih tenang, nyaman
dan semakin harmonis di antara warga.
Dr. Linggih
menyebut fungsi dari Legong Dedari memiliki fungsi religi merupakan
pengejawantahan dari beliau yang tak terbayangkan menjadi terbayangkan dalam
bentuk sesolahan Legong Dedari. Fungsi
penyucian dimana masyarakat memiliki keyakinan besar sebagai penetralisir dari
situasi dan kondisi negatif menjadi positif, fungsi social dimana masyarakat ngaturang ngayah penuh bakti tanpa
pamrih sehingga menyadarkan masyarakat dari dis harmonis menjadi harmonis kembali.
Dan berfungsi estetika dimana sesolahan
ini mampu meningkatkan rasa estetik yang mendalam menuju kedamaian abadi.
PENARI LEGONG DEDARI: Mengalami Kesurupan dengan Perilaku di Luar Akal Sehat (FT: I Nyoman Linggih)
Seiring tari Legong Dedari kembali ditarikan, Jro Dewa Niang Mangku menuturkan, masyarakat dari berbagai daerah mulai banyak berdatangan. Tidak saja warga masyarakat Bali juga ada yang dari Madura, Kalimantan dan Jawa. Mereka datang dengan tujuan yang beragam. Seperti melukat untuk penyucian diri, memohon pengobatan, memohon anak, dan ada juga yang meditasi dari malam hingga pagi. *balu01
SERAHKAN PUNIA: Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara menyerahkan punia saat menghadiri puncak upacara Pitra Yadnya lan Atma Wedana yang dilaksanakan di Bale Peyadnyan Desa Adat Bekul, pada Selasa (19/9). (Foto: ist)
Denpasar, baliilu.com – Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara menghadiri puncak upacara Pitra Yadnya lan Atma Wedana yang dilaksanakan di Bale Peyadnyan Desa Adat Bekul, pada Selasa (19/9). Pelaksanaan karya tersebut merupakan wujud Sradha Bhakti umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta membantu sesama Umat Hindu.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Anggota DPRD Kota Denpasar, I Putu Gede Menala Wisnawa, tokoh masyarakat, IGN Gede Marhaendra Jaya, serta keluarga peserta upacara Pitra Yadnya lan Atma Wedana.
Di sela-sela upacara tersebut Walikota Denpasar, IGN Jaya Negara mengapresiasi kepada pihak Desa Adat Bekul yang telah menyelenggarakan upacara Pitra Yadnya lan Atma Wedana ini. Dimana, upacara ini merupakan penyucian roh leluhur yang telah tiada agar dapat menyatu dengan Tuhan.
Lebih lanjut dikatakannya, selain penyucian roh leluhur, secara tidak langsung pelaksanaan ini juga dapat meningkatkan rasa kekeluargaan serta mampu mengurangi biaya dan tenaga dalam pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini sejalan dengan spirit Vasudhaiva Khutumbamam yang bermakna kita semua bersaudara.
“Kami sangat mendukung pelaksanaan upacara ini, dan berharap dapat secara berkelanjutan dilaksanakan sehingga dapat memberikan dampak yang positif dalam pelaksanaan yadnya atau korban suci di kalangan masyarakat,” pungkas Jaya Negara.
Sementara Bendesa Adat Bekul, I Made Yuliarta saat ditemui mengatakan, pelaksanan upacara Pitra Yadnya Lan Atma Wedana secara massal ini merupakan upacara rutin yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali di Desa Adat Bekul.
Lebih lanjut, rangkaian dalam upacara tahun 2023 ini telah dimulai dari tanggal 22 Agustus 2023 lalu yang diisi dengan upacara Matur Piuning Karya di Pura Kayangan Tiga dan Pura Prajapati. Dan saat ini merupakan puncak acara yang diisi dengan upacara Melaspas Sekah, Mepurwa Daksina, dan Rsi Bojana. Yang mana dalam upacara ini diikuti sebanyak 47 peserta Ngaben Nyekah dan 24 Ngelangkir.
“Kami mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan dan kehadiran dari Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, dan kami berharap dengan dukungan ini pelaksanaan ini dapat terus berlanjut sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi masyarakat,” pungkas Made Yuliarta. (eka/bi)
KARYA ATMA WEDANA: Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta menghadiri Karya Atma Wedana Ngaben Massal dan Manusa Yadnya Kinembulan Banjar Juwuk Legi, Desa Adat Batunya, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Minggu (17/9). (gs/bi)
Tabanan, baliilu.com – Sebagai wujud komitmen Pemerintah Kabupaten Badung dalam melestarikan adat agama tradisi seni dan budaya, Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta menghadiri Karya Atma Wedana Ngaben Massal dan Manusa Yadnya Kinembulan Banjar Juwuk Legi, Desa Adat Batunya, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Minggu (17/9).
Karya yang diikuti 44 sawa dan 40 orang mepandes, turut dihadiri Perbekel Desa Batunya Made Riasa, Bendesa Adat Batunya Nyoman Wirawan serta krama pemilik sawa. Sebagai bentuk motivasi dan perhatian, Bupati Giri Prasta menyerahkan bantuan dana secara pribadi sebesar Rp. 40 juta.
Dalam sambrama wacana-nya Bupati Giri Prasta menyampaikan rasa syukur karena dapat hadir sekaligus mendoakan agar pelaksanaan upacara Atma Wedana dan Manusa Yadnya Kinembulan Desa Adat Batunya bisa berjalan lancar sesuai tatanan yang ada sebagai wujud bakti atau penghormatan terhadap para leluhur.
“Saya merasa bersyukur dapat hadir, sekaligus ikut mendoakan agar pelaksanaan Karya Atma Wedana dan Manusa Yadnya Kinembulan di Desa Adat Batunya bisa berjalan lancar dan labda karya, terlebih upacara Atma Wedana ini merupakan wujud penghormatan atau rasa bakti terhadap leluhur,” ujarnya.
Pihaknya juga mengajak semeton semua untuk selalu berlandaskan Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan, yang pada intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan. Ketiga keseimbangan tersebut merupakan penyebab terjadinya kebahagiaan, dan juga semua harus selalu berpedoman dengan ajaran Agama Hindu berlandaskan Dharmaning Leluhur, Dharmaning Agama dan Dharmaning Negara. Dimana Dharmaning Leluhur mengingatkan kita untuk selalu ingat kepada leluhur, Dharmaning Agama mengingatkan untuk selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan srada bakti dalam semua kegiatan. Dan Dharmaning Negara mengingatkan untuk berperan aktif mendukung program pemerintah dan pembangunan, begitu juga pemerintah akan selalu mengayomi paiketan untuk saling bersinergi berjalan bersama di dalam kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
“Dengan dilaksanakan dharmaning ini, diharapkan bisa mempererat persaudaraan dan persatuan pasemetonan yang ada agar tidak terpecah-belah, seraya berharap rangkaian karya dapat berjalan dengan lancar labda karya sida sidaning don gemah ripah loh jinawi,” imbuhnya.
Sementara manggala karya Made Sudarma menyampaikan terima kasih atas kehadiran Bupati Badung Nyoman Giri Prasta dan undangan lainnya dalam upacara Karya Atma Wedana dan Manusa Yadnya Kinembulan ini. Dimana persiapan dimulai dari bulan Juli 2023 dan menghabiskan waktu kurang lebih tiga bulan.
“Dimulai dengan matur piuning, dan kemarin tanggal 16 September dilaksanakan ngeplugin dan ngeringkes, dilanjutkan tanggal 22 September 2023 meajar-ajar ke Danau Beratan dan terakhir tanggal 24 September 2023 dilaksanakan ngunggahin ke masing-masing merajan,” jelasnya. (gs/bi)
NYAKSI: Bupati Tabanan Dr. I Komang Gede Sanjaya, S.E.,M.M disambut warga saat hadir Nyaksi Pitra Yadnya Ngaben Massal yang berlangsung secara roadshow di Desa Selanbawak dan Desa Adat Kedungu, Senin (18/9). (Foto: ist)
Tabanan, baliilu.com – Bupati Tabanan Dr. I Komang Gede Sanjaya, S.E., M.M. hadir Nyaksi Pitra Yadnya Ngaben Massal yang berlangsung secara roadshow di Desa Selanbawak dan Desa Adat Kedungu. Hal ini membuktikan komitmen yang terus dikedepankan pemerintah, dalam upaya mendukung pembangunan sekaligus berkontribusi dalam tren pelaksanaan karya yang berlangsung di masyarakat Tabanan, Senin (18/9).
Dalam karya pertama, Bupati Sanjaya hadir sebagai Murdaning Jagat dalam Karya Pitra Yadnya Sawa Prenawa lan Atma Wedana di Banjar Adat Manik Gunung, Desa Adat Kekeran, Desa Selanbawak dan dilanjutkan dengan Upacara Ngaben Massal Toya Pranawa di Desa Adat Kedungu, Desa Belalang, Kediri, Tabanan. Saat itu hadir Anggota DPRD RI, Anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten Tabanan, Asisten 3, para OPD terkait di lingkungan Pemkab, Camat, Perbekel serta Bendesa Adat setempat.
Karya yang berangkat atas asas kebersamaan dan gotong-royong ini, mendapat perhatian dan apresiasi yang sangat baik dari orang nomor satu di Tabanan yang saat itu Nyaksi bersama jajaran pemerintah. Sebab dalam konsep agama Hindu, pelaksanaan Pitra Yadnya Atiwa-tiwa Ngaben ini merupakan yadnya yang sangat penting untuk dilakukan. Ini merupakan kewajiban bagi manusia untuk membayar “hutang” kepada leluhur.
Dalam konsep Tri Rna, Sanjaya menjelaskan, kewajiban sebagai umat Hindu yakni untuk membayarkan “hutang” kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, hutang kepada Rsi dan Leluhur, dan hutang kepada sesama. “Hutang” namun tidak semata-mata menjadikannya beban, tetapi lebih menjadi kewajiban yang harus dituntaskan. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak boleh gratis. Harus ditetapkan biaya berapapun, sebagai wujud pengorbanan kita. Makna pengorbanan, tidaklah harus dengan biaya yang besar dan sarana upacara yang mahal. Karenanya, Sanjaya sangat mengapresiasi pelaksanaan Karya Agung secara kolektif, yang didasari oleh konsep kebersamaan dan biaya yang bervariasi dan sangat terjangkau.
Karya kolektif ini kemudian menjadi tren yang diadopsi sangat baik oleh masyarakat Tabanan di masing-masing desa. Perhatian pemerintah terhadap kebersamaan masyarakat ini, dibuktikannya dengan hadir “melengkapi” karya sebagai murdaning jagat, di masing-masing upacara, baik Karya Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya dan Butha Yadnya agar karya yang diselenggarakan menjadi Satwika atau utamaning utama. Ungkapan apresiasinya juga disampaikan manakala karya kolektif atau massal ini sudah terkonsepkan dengan baik oleh masing-masing desa, masuk ke dalam perarem adat dan bahkan telah rutin dilaksanakan.
“Saya selaku Bupati, Murdaning Jagat, Ritatkala wenten upacara sekadi mangkin, seminimal mungkin tiang harus hadir di tengah-tengah masyarakat, tujuannya untuk memberikan persepsi tentang yadnya-yadnya yang ada di Bali maupun yang ada di Tabanan,” ucap Sanjaya siang itu. Pemerintah hadir ikut gotong-royong, seraya berharap, budaya yang ngerombo yang harmonis ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
Puncak acara kedua karya sama-sama akan dilaksanakan pada Selasa (19/9), dengan total peserta di Desa Selanbawak diikuti oleh 10 Sawa Ngaben, 8 Sawa Nyekah, 1 Sawa Ngelungah dan 11 Sawa Maparisudha dengan biaya untuk ngaben sebesar 8 juta rupiah dan urunan dari 126 KK. Sementara itu, di Desa Adat Kedungu, jumlah peserta diikuti oleh 31 Sawa dengan biaya ngaben sebesar 5 juta rupiah per sawa, dan 5 diri peserta Ngelungah, 25 diri peserta Ngelangkir, dan 4 diri peserta Nyambutin.
Kehadiran jajaran pemerintah saat itu disambut sangat hangat oleh para krama desa, disampaikan oleh I Ketut Deger Setiasa, selaku Bendesa Adat Kedungu. Hadirnya Bupati saat itu menambah semangat bagi krama untuk melaksanakan yadnya. “Matur Suksma ring Bapak Bupati dan undangan sekalian yang sudah datang atas kesediaan beliau bisa datang ke Desa Adat Kedungu untuk menyukseskan Ngaben Massal kami, wenten 31 Sawa Agung, dan kurang lebih 30 yang Ngelungah dan Ngelangkir. Semuanya dari adat dan urunan masing-masing sawa, total biaya habis sampai 150 juta,” ujar Ketut Deger. (gs/bi)